P R O L O G

286K 16.9K 520
                                    

Kamu bodoh sekali memedulikan orang lain. Segala komentar yang mereka kemukakan atas dasar pengamatan begitu kamu dengarkan. Hujatan-hujatan yang mereka katakan sebagai bentuk perhatian sering kamu jadikan patokan.

Katamu, "Aku enggak peduli. Dia siapa, sih? Omongannya enggak berpengaruh di hidupku."

Lalu di belakang, apa yang kamu lakukan berbanding terbalik dari perkataan. Memorimu tetap berkutat memikirkan apa yang masuk ke pendengaran dan menangis dalam kesunyian.

Pikirmu, "Aku punya telinga buat mendengar. Aku punya mata buat melihat. Aku punya hati buat merasa. Gimana bisa aku bersikap seolah enggak ada apa-apa?"

Kesangsian akan daya tahan emosimu membelah bumantara dalam kemurungan. Dirimu dalam proyeksi adalah sosok yang tak memiliki apa-apa selain senyum manis di antara tangis, duka di lautan sukacita, dan lara di antara tawa. Namun, di luar dugaan, kamu bisa melihat dirimu berada di titik sekarang. Walau dengan perasaan hancur, hati yang lebur, dan jiwa yang tak pernah sama seperti sebelumnya, kamu berhasil melewati setiap fase yang ada.

Yakinmu, "Ternyata aku enggak selemah apa yang kupikirin. Aku mampu, tapi malah meremehkan diri sendiri dengan berpikir macam-macam lebih dulu."

Tawa sesalmu mengangkasa saat menengok ke belakang. Hari-hari kelammu dalam kalender terasa bak banyolan. Momen mereka meninggalkanmu dalam kesendirian, menghujatmu sepenuh perasaan, dan melabelimu bersama ribuan anggapan... hanya menyisakan senyum kecil di wajahmu yang penuh ketenangan.

"Aku bodoh banget karena mau-maunya numpahin air mata buat orang-orang yang enggak pernah tahu hidupku gimana." Begitu ujarmu.

Nestapa bertransformasi menjadi tawa. Tangisan bersalin kegembiraan. Namun, akankah pandanganmu tetap sama kala kegetiran mulai menghantam secara habis-habisan?

Kenangan yang buruk selalu dibarengi dengan penyesalan. Masihkah lengkungan kecil di bibirmu bertahan dari gempuran memori menyakitkan yang menyeretmu dalam kegelapan?

"Gladys dan Varel...."

Kedua lututnya terjatuh di depan secarik kertas lecek berbingkai debu. Nyeri yang menyengat sesudahnya terkesan tak berharga. Dingin. Rasanya dingin di mana-mana. Ia tak mampu menggerakkan badan. Kosong. Sakit.

Sekali, dua kali... matanya berkedip lambat. Sirine ambulans yang menyesaki telinga kian membutakan akalnya. Jika saja ia berani melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Jika saja ia berani mengesampingkan alasan... pasti akhirnya akan berbeda.

Heliosentris [TAMAT]Where stories live. Discover now