Di diri Untung Pararean saat itu seolah-olah terjadi perang tanding antara kejahatan dan kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini berpijak dan bertahan diatas kebenaran namun lama-lama, dalam detik-detik yang mencapai puncak ketegangan itu, kebenaran yang ada dalam dirinya berhasil ditumbangkan oleh kejahatan yang melanda hati dan jalan pikirannya!

Ketika dia cuma tinggal dua langkah dari tubuh Empu Bharata yang duduk bersila menghadapi alat-alatnya dan perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan bahwa dia harus membunuh si orang tua! Digenggamnya hulu keris Mustiko Jagat erat-erat. Sesaat kemudian senjata itu dihunjamkannya ke punggung kiri Empu Bharata. 

Orang tua itu mengeluh tinggi, tubuhnya tersungkur di muka perapian, darah cepat membanjiri punggung dan selempang kain putihnya, tapi dia belum lagi menghembuskan nafas penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur dimakan umur dan dijelang ajal itu memandang sayu tapi mengerikan pada Untung Pararean yang berdiri, dengan keris Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan kanannya.

"Pemuda dajal ..." desis Empu Bharata diantara nafasnya yang mulai menyengal. "Apakah yang membuat kau sampai melakukan kejahatan terkutuk ini terhadapku ...?" Tenggorokan orang tua itu turun naik beberapa kali lalu. "Aku tahu . . . aku ta ... hu. Kau inginkan keris itu bukan?" Empu Bharata menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki Mustiko Jagat, manusia jahat. Tapi apa yang kau lakukan terhadapku kelak akan mendapat balasnya di kemudian hari. Demi para Dewa di Swar ... swargalo ... ka ... kelak kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat juga. Dan .,. se sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir ba . . . ba..."

Ujung kata-kata yang diucapkan Empu Bharata lenyap oleh suara guntur yang menggelegar dengan tiba-tiba. Di luar teratak kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan sesaat kemudian hujan lebat turun membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaan dan Kuasa ini turut menyaksikan dan menangisi kematian Empu Bharata. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri mematung dengan bulu kuduk merinding. Ketika diperhatikannya paras Empu Bharata, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup sedang dari mulutnya membuih darah kental akibat racun keris Mustiko Jagat yang amat berbisa. Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Untung Pararean ke dalam sarungnya. Karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus, senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal diluar kira-kira setengah senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung Pararean. Dia masuk ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta barang-barangnya lalu dibawah hujan lebat yang mencurah bumi pemuda itu berlari menuruni lereng timur Gunung Slamet.

Seminggu sesudah dibunuhnya Empu Bharata kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki, Gunung Slamet. Demikian cepat larinya hingga hanya bayangan jubah putihnya saja yang terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini telah mencapai teratak tua tempat kediaman Empu Bharata. Begitu muncul disitu begitu orang ini berseru, "Dimas Bharata, aku datang!" Suara seruannya yang keras menggetarkan seantero tempat hanya disahuti oleh gema seruan itu sendiri. "Heran, kenapa sepi-sepi saja."

membathin orang ini. Tubuhnya bungkuk, badannya yang kurus kering macam tengkorak hidup itu tertutup oleh sehelai jubah putih yang kotor dan bertambal-tambal. Mukanya bopeng buruk sekali. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah kena air mengumbar bau yang tidak sedap, ditambah lagi dengan bau jubahnya yang kotor.

"Dimas Bharata, Untung Pararean, apa kalian tuli hingga tak mendengar kedatanganku?!" seru si muka Bopeng. Dia melangkah besar-besar ke pintu teratak yang terbuka lebar. Sampai diambang pintu mendadak sontak langkahnya terhenti. Sepasang kakinya yang kurus kering itu laksana dipantek ke lantai tanah. Tapi hanya sesaat. Sedetik kemudian dia sudah menghambur masuk dan menjatuhkan diri disamping mayat Empu Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu Bharata. Meski mayatnya sudah seminggu menggeletak namun masih tetap utuh dan tidak busuk hingga kalau tidak memperhatikan bekuan darah yang terdapat dipunggung dan di lantai, orang tua itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah tidur nyenyak.

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now