• tiga puluh satu •

Start from the beginning
                                    

Aku dan Elena saling menatap sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kami berdua jelas merasa prihatin pada kisah cinta Violet. Padahal, kami selalu mengira bahwa pada akhirnya Jaden akan luluh pada Violet. Tapi rupanya Jaden terlalu keras kepala dan juga egois. Ia tidak pernah memikirkan perasaan Violet.

"Kenapa nangis?" Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat siapa pemilik suara tersebut.

"Ngapain lo ke sini? Nggak cukup bikin dia sakit?" tanya Elena sambil menatap Jaden dengan sinis. "Gue nggak mau lo nyakitin Vio lagi, Den. Lo emang udah gue anggep temen. Tapi, gue nggak terima kalau lo giniin Violet. Demi Tuhan, dia ini manusia yang punya perasaan. Dan lo nggak boleh main-main sama yang namanya perasaan."

Jaden menatap Violet yang memilih untuk menunduk agar tidak ada yang melihat ia menangis. "Gue perlu bicara sama Violet," ucapnya dengan tegas.

"Gue rasa apa yang dia bilang ke lo semalem itu udah cukup jelas, Den. Apa lo nggak bisa liat kalau dia udah cukup tersakiti sama sikap lo selama ini?" tanyaku dengan pelan. Aku tidak ingin mencaci maki Jaden di depan murid-murid lain walau sebenarnya aku ingin sekali.

Jaden menghembuskan napasnya dengan berat dan kembali menatap Violet. "Vio, gue beneran perlu ngomong sama lo. Sebentar aja."

"Gue kan udah bilang kalau-"

"Fine. Gue bakal ngomong sama lo," ucap Violet sambil bangkit dari kursi, memotong ucapan Elena.

Aku menatap Violet dengan bingung. "Lo nggak harus ngomong sama dia kalau lo emang nggak mau, Vio," ucapku sambil menahan tangannya.

Elena mengangguk setuju. "Iya, nggak papa kok kalau emang lo nggak mau. Kita bisa suruh dia pergi."

"Nggak, guys. Biarin gue denger apa yang mau dia omongin sama gue. Lagipula, gue udah terlanjur hancur. Nggak mungkin jadi lebih hancur lagi kan?" tanya Violet sambil memaksakan senyum.

Aku dan Elena kembali saling menatap dan akhirnya membiarkan Violet pergi dengan Jaden. Tidak ada salahnya Violet mendengarkan apa yang ingin diucapkan oleh Jaden. Mungkin untuk terakhir kalinya. Tidak lama setelah Jaden dan Violet pergi, Julian dan Axel menghampiri aku dan Elena. Mereka sepertinya tidak tahu apa yang baru saja terjadi karena mereka masih saja asik tertawa.

"Halo, kok tampangnya pada suram gitu sih?" tanya Julian dengan heran.

Mendengar pertanyaan Julian, Axel juga akhirnya menatapku dan Elena. "Iya, kalian kenapa? Terus, Vio mana?"

"Lagi ngomong berdua sama Jaden. Katanya, Vio pas itu ketemu Jaden di mall sama cewek. Terus, si Jaden bersikap seakan-akan nggak kenal gitu sama Vio. Akhirnya pas semalem Jaden dateng ke rumahnya, Vio bilang dia udah nggak mau lagi ngejer-ngejer dia. Dan barusan Jaden bilang mau ngomong sama Vio," jelas Elena panjang lebar dengan ekspresi sebal di wajahnya.

"Kan gue udah bilang, Jaden itu keras kepala banget anaknya. Gue nggak pernah setuju tuh kalau Violet harus berjuang banget buat Jaden. Sedangkan Jadennya aja masa bodo. Walau gue sama Axel udah bilangin juga dia cuma iya-iya doang."

Axel mengangguk setuju. "Biar tahu rasa sekarang dia ditinggal sama Vio. Kebiasaan sih nggak mau ngehargain perasaan orang lain."

Aku rasa tidak hanya aku dan Elena yang sebal terhadap sikap Jaden. Tapi, Axel dan Julian juga. Bahkan sahabatnya sendiri saja tidak menyukai sikapnya. Jaden benar-benar harus merubah sifatnya jika ingin dihargai oleh orang lain.

Tiba-tiba, ponsel Axel berbunyi. Ia merongoh kantong celananya untuk mengeluarkan ponselnya. Namun begitu ia melihat siapa yang menelepon, ia tidak mengangat telepon tersebut. Dengan santainya, ia hanya menaruh ponselnya di atas meja dan membiarkannya berbunyi.

Hidden TruthWhere stories live. Discover now