• tiga puluh satu •

14.8K 1.4K 121
                                    

Setelah semua salah paham antara aku dan Axel, hubungan kami semakin membaik. Lebih tepatnya, kami lebih pengertian terhadap satu sama lain. Dan aku sendiri sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan sembarangan mengambil kesimpulan. Aku akan selalu jujur pada Axel dan mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku. Dengan demikian, itu bisa mengurangi masalah di antara kami. Axel juga sudah berjanji akan melakukan hal yang sama.

"Vio, ini perasaan gue aja apa emang daritadi si Jaden ngeliatin lo mulu ya?" tanya Elena sambil menatap Violet dengan heran.

Yang ditanya menghembuskan napasnya dengan berat seakan-akan ia sudah tahu Jaden sedang menatapnya daritadi. Aku yakin pasti sedang ada masalah lagi di antara mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka tidak bisa akur. Jaden terlalu dingin sedangkan Violet terlalu panas. Mereka berdua saling berlawanan namun Violet sangat memperjuangkan Jaden. Aku selalu bertanya-tanya pernahkan Jaden memikirkan bagaimana menjadi Violet yang selalu mengejar-ngejarnya. Selama ini, ia lebih banyak mendiamkan dan membuat Violet sakit hati.

"Semalem dia ke rumah gue," ucap Violet dengan pelan. Firasatku mengatakan Violet akan bercerita panjang lebar. Untung saja waktu istirahat masih cukup lama sehingga cerita Violet tidak akan terpotong di tengah jalan.

Aku dan Elena langsung memperbaiki posisi kami agar dapat mendengar cerita Violet dengan jelas. Bahkan, kami sudah terlihat seperti sedang membahas sesuatu yang sangat amat rahasia.

"Kenapa?" tanya Elena dengan penasaran. "Dia marah-marah lagi ke lo?"

Violet menggelengkan kepalanya. "Sehari sebelumnya, gue ketemu dia kan di mall. Terus gue manggil dia dong. Dia nya cuek gitu kayak nganggep gue nggak ada. Kayak biasalah. Terus ternyata dia dateng sama temennya, cewek pula. Pas cewek itu nyamperin dia, dia langsung pergi gitu aja tanpa ngomong apa-apa ke gue. Ya, kalau kalian jadi-"

"Kalau gue jadi lo, gue udah tinggalin dia dari dulu. Gue udah bilang, cowok kayak dia itu nggak layak diperjuangin. Percuma. Rasanya sama kayak menggapai awan. Nggak akan pernah dapet," ucap Elena dengan kesal.

"Iya, Vio. Gue rasa udah saatnya lo ngelepasin dia. Mungkin dia emang bukan buat lo. Terkadang, melepaskan orang yang kita sayangi itu lebih baik daripada terus-terusan menahannya," ucapku sambil mengelus pundak Violet dengan pelan, berusaha memberikan pengertian.

Dari wajah Violet yang memerah ditambah matanya yang sudah berair, aku tahu ia pasti akan menangis. Tentu saja ia akan menangis. Ditolak oleh laki-laki yang kita sayangi sudah pasti menyakitkan. Menurutku, Violet sudah cukup hebat bisa bertahan lebih dari sebulan bersama Jaden walau Jaden tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Laki-laki itu harus belajar caranya menghargai orang lain.

Violet mengangguk dan berusaha menghapus air matanya yang sempat menetes. "Gue tahu. Dia itu nggak jelas. Sikapnya nggak bisa ketebak. Gue nggak tahu hari ini dia bakal bersikap kayak gimana ke gue. Gue capek sama semua permainan dia. Dan kemarin waktu dia dateng, gue langsung kasih tau dia kalau gue berhenti.

Gue berhenti buat memperjuangkan dia. Gue berhenti buat berharap sama dia karena berharap punya hubungan spesial sama dia itu mustahil. Selama ini gue selalu berpikir bahwa mungkin suatu saat bakal ada keajaiban di antara kita. Tapi, itu semua cuma ada dalam anggan-anggan gue aja. Sampai kapanpun, gue itu nggak pernah bisa sama dia," lirih Violet di akhir kalimat.

Aku melirik ke arah Jaden sekilas untuk melihat ekspresinya. Ia masih saja menatap Violet dengan tatapan yang tidak kumengerti. Apa sebenarnya ia juga mempunyai rasa terhadap Violet? Namun, kenapa harus selalu menyakitinya di setiap kesempatan?

"Gue capek, guys. Gue kira perjuangan gue bisa kasih akhir yang berbeda. Tapi ternyata sama aja. Gue nggak bisa ngerubah takdir yang udah ditentukan," ucap Violet yang sudah mulai terisak-isak.

Hidden TruthWhere stories live. Discover now