• empat belas •

19.2K 1.6K 55
                                    

Aku terdiam cukup lama sebelum kembali membuka mulut untuk bertanya, "terus, siapa? Gebetan?"

Axel tertawa. "Bukan juga. Kenapa sih nanya-nanya? Tumben lo kepo."

"Aish, jahat banget sih," ucapku sambil menatapnya dengan tajam.

"Galak amat sih, Ra. Iya deh gue jelasin Teresa siapa supaya lo nggak jealous lagi."

Aku melebarkan kedua mataku begitu ia berkata bahwa aku ini cemburu dengan Teresa. Tidak mungkin kan? Untuk apa aku cemburu sama Teresa? Aku kan tidak suka sama Axel. Tapi entah kenapa, aku tidak membantah ucapannya. Aku malah membiarkannya mengira bahwa aku ini cemburu.

"Jadi, dia itu sahabat gue dari kecil. Dia udah kenal gue luar dalem," jelas Axel lagi. "Walau beda sekolah, kita selalu cerita-cerita."

"Mana ada yang sahabatan doang," sahutku dengan refleks. Detik berikutnya, aku baru sadar dengan ucapanku. Astaga. Apa yang aku lakukan tadi? Kenapa aku malah terlihat seperti perempuan yang cemburu?

Axel tersenyum jahil ke arahku. "Gue sama dia beneran nggak ada hubungan spesial kok."

"Iya, gue percaya kok," ucapku sambil memutar kedua bola mataku dengan malas. "Mau dia mantan lo juga nggak papa. Gue nggak perduli."

Axel menaruh gitarnya di samping dan memfokuskan dirinya padaku. "Gimana sama lo? Pasti pernah pacaran kan?"

"Nggak," dustaku.

"Bohong. Ryder pernah bilang lo dulu pernah pacaran."

Dasar, Ryder. Mulutnya emang bocor banget.

"Iya ada," ucapku pada akhirnya. Percuma juga berbohong. Tidak ada gunanya.

"Terus, terus?" tanya Axel dengan penuh minat.

Aku mengangkat sebelah alisku dengan bingung. "Terus apaan?"

"Terus putus kenapa?"

Aku menghembuskan napasku dengan berat. Kali ini, aku yakin bahwa Axel tidak tahu bahwa aku ini adalah mantan Ray. Ia tidak tahu apa-apa soal aku. Bagaimana bisa? Mengapa Ray tidak menceritakan apapun pada Axel?

"Dia mutusin gue tiba-tiba di hari yang sangat spesial buat gue," jawabku dengan perasaan sesak mengingat kejadian itu. Jika aku bisa memusnahkan Ray, sudah pasti akan aku musnahkan dari dulu.

"Karena?" tanya Axel lagi.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "karena cewek lain."

Axel menatapku dengan mata melebar. "SERIUS?!" teriaknya yang mungkin akan terdengar sampai ke satu kompleks perumahan.

"Ssttt! Kok lo dodol sih, ngapain pake teriak-teriak segala?!" ocehku dengan cepat.

Axel menganggukkan kepalanya. "Maaf, maaf. Gue kaget aja gitu."

"Kaget kenapa coba? Diputusin itu kan hal yang wajar," tanyaku dengan heran.

"Iya emang. Tapi kalau lo yang diputusin, itu nggak wajar namanya," ucap Axel sambil menggelengkan kepalanya.

"Emang kenapa gitu?" Aku semakin tidak mengerti apa maksud perkataannya.

Axel menatapku dengan serius. "Berarti dia bego. Dia nggak sadar betapa uniknya lo. Makanya, dia sampe gituin lo. Otaknya nggak dipake mungkin waktu itu. Atau emang nggak ada kali."

Aku refleks tertawa mendengar perkataan Axel yang menurutku lucu. "Apaan sih lo. Unik darimana? Gue kan cuma cewek biasa doang."

"Nggak ah. Menurut gue, lo cukup unik kok. Lo dan perubahan mood lo yang cepet itu. Nyebelin sih, tapi gue nggak pernah ketemu orang kayak lo aja gitu," balasnya dengan serius.

Hidden TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang