11

1.4K 97 1
                                    

Apa kah harus ku akhiri? Secepat ini ?

Hari ini sama seperti hari biasanya, berangkat ke sekolah, diantar oleh mama. Masuk sekolah dengan kondisi hati yang masih belum tenang. Senyuman murid lainnya sedikit memancing energi positif diriku, walau sebenarnya masih ada rasa khawatir akan keadaan Tama yang masih belum membaik.

"Hari ini tes lari katanya."

Terdengar suara teriakan Isa saat aku masuk ke dalam kelas, kelas sudah ramai saat itu, tapi suara Isa masih bisa ku dengar dengan jelas.

"Tes lari, Sa?" ulangku tak percaya.

Isa menggangguk mantap. Aku menghela nafas malas. Olah raga bukan termasuk mata pelajaran kesukaanku, bahkan cenderung tidak suka.

"Yang semangat, Im." kata Shania

Aku tersenyum padanya yang menyamakan jalannya denganku. Setelah bel berbunyi, kami semua segera mengganti seragam putih abu dengan seragam olah raga. Tak banyak waktu yang diberikan, membuat kita harus dengan segera kembali ke lapangan setelah itu.

"Ayma." panggil Raya.

Raya membuatku menoleh ke belakang, wanita berkacamata itu mempercepat langkahnya untuk menyamai langkahku.

"Im, tadi malem Tama telepon aku." kata Raya memulai ceritanya.

Mendengar nama Tama disebut oleh Raya, rasanya sangat aneh. Sudah dua hari ini aku tak berkomunikasi dengan Tama. Kuat sekali laki-laki itu, bahkan di kelas pun ia tak menganggap keberadaanku. Jadi bukan aneh jika aku sangat terkejut mendengar jika semalam Tama menghubungi Tama.

"Terus?"

"Tama ngajakin aku balikan."

Sesak dadaku mendengarnya. Seluruh tubuhku panas seketika, aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang aku dengar pagi ini. Tama bisa melakukan hal itu padaku. Tidak kah dia menganggapku penting.

"Terus kalian balikan?" tanyaku.

Suaraku bergetar, aku bisa mendengarnya sendiri. Ingin sekali berlari dan berteriak sekencang mungkin sekarang.

"Enggak. Aku tetep sama pendirian. Aku nolak dia." Jawab Raya.

Harusnya aku senang mendengar jawaban Raya, tapi sayang perasaan yang aku inginkan tak pernah ada. Bahkan emosiku naik ke kepala seluruhnya. Ingin menangis, marah, teriak, semua bercampur di diri ini.

Saat kami ingin masuk ke dalam kelas, Tama menghadang kami. Raya langsung menunduk begitu tau siapa yang berdiri di depan pintu, aku juga bisa melihat Tama menatap Raya yang berjalan melewatinya begitu saja. Detik selanjutnya, pandangannya beralih padaku, sayangnya aku tak ingin menatapnya. Ku lewati ia seperti yang Raya lakukan.

"Hari ini saya akan mengambil nilai. Pengambilan nilainya ....." begitulah yang diminta Pak Toni, guru olahraga, kepada kami. Tak perlu di dengarkan pasti intinya tes lari dengan waktu yang sudah pak Toni tentukan.

Mulai ...

Saat peluit ditiup kami bersama berlari menuju batas yang diberikan oleh Pak Toni. Aku berusaha lari sekuat yang aku bisa. Tak memaksakan diri untuk bergerak terlalu cepat. Ingatan tentang apa yang Raya katakan tadi terus terngiang, menjadi satu alasan langkah kaki ini tak berhenti berlari. Aku kesal.

"Semangat, tuan putri." suara berat itu memecahkan lamunanku.

Tama melempar senyumannya saat mataku menemukannya mengurangi kecepatan larinya, tak lama setelahnya ia kembali mempercepat langkah kakinya.

Ingin sekali aku menangis sekarang juga, meneriakinya yang sudah jauh denganku. Aku bahkan tak tau apa yang mungkin bisa ku katakan seandainya saja nanti kami kembali berbicara. Teganya laki-laki itu memperlakukan aku seperti ini.

***

Aku meminum air mineral yang baru saja ku beli. Masih sangat terasa lelahnya karena tes lari tadi. Ku membaca novel yang ku bawa dari rumah, sambil menunggu mama datang menjemput.

"Masih marah?" suara lelaki itu berhasil memalingkan pandanganku dari novel yang ku baca.

Tama.

"Ngapain belum pulang?" aku tau suaraku sangat ketus saat ini.

"Soalnya aku tau kamu belum pulang." Jawabnya cepat.

Bagaimana dia bisa berkata seperti itu. Bisanya dia memperlakukanku seperti ini. Tadi pagi aku mendengar jika ia meminta Raya untuk kembali padanya, dan saat Raya jelas menolak, ia ingin kembali lagi padaku.

"Kemaren kemaren kemana aja? Gagal ngajak Raya balikan terus ke aku lagi?" Aku menatap Tama tajam. Setajam dia menatapku beberapa hari yang lalu.

"Aku bukan tempat pelampiasan kamu, Tam." Lanjutku.

Aku menutup novel dan ingin beranjak dari sana. Tangan Tama mencengkeram tanganku erat, mencegahku pergi dari sampingnya.

"Tunggu, aku bisa jelasin." Katanya.

Aku kembali duduk di sebelahnya, ku atur nafasku. Aku tak menyangka kalau menahan tangisan akan semelelahkan ini.

"Aku minta maaf karena itu. Aku juga nggak ngerti sama perasaanku sendiri." Lanjutnya.

"Tapi aku bisa jamin kalau kamu bukan cuma pelampiasanku, Ayma." Lanjut Tama. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

Ku tatap mata yang tak pernah bisa ku tebak apa maksudnya. Apakah dia sedang pura-pura atau tulus dari hati. Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Aku tak ingin dia mempermainkan aku seperti ini. Cintaku bukan untuk dimainkan.

Di sisi lain aku ingin memeluk Tama, memeluknya dengan erat dan mengatakan jika aku ingin semua yang dia katakan benar-benar adanya. Tapi aku menahan semua ini. Aku ingin dia tegas sebagai laki-laki. Aku tidak ingin hanya menjadi pelampiasan saja.

"Pikirkan dulu. Aku butuh gerak nyata, Tam." Kataku.

Aku beranjak dengan cepat dari sana. Aku tak ingin tangannya kembali menahanku. Sempat terdengar namaku ia sebut, tapi sekuat tenaga aku tak berbalik untuk menatapnya. Aku ingin dia memikirkan dulu semuanya. Aku tak ingin jadi pelampiasan, atau bahkan pilihan kedua.

Luka Adalah ketika kamu Mencintai sepenuhnya , Lalu dibalas cinta seperlunya ... 

Seharusnya Aku Tau | ✔Where stories live. Discover now