5

2.2K 126 0
                                    

Cinta selalu tumbuh karena keterbiasaan, dan kamu membiasakannya padaku...

Libur akan tiba tak lama lagi. Satu minggu terakhir ini sekolahku mengadakan acara classmate untuk menunggu hasil rapor. Sekolah mengadakan beberapa lomba seperti futsal, basket, volly dan lainnya. Kelasku mengikuti semua pertandingan, ya meskipun tidak menang.

Aku menatap lapangan yang ramai karena hari ini jadwal pertandingan futsal. Dan jadwal kelasku bertanding. Yoga dan Amar ikut bertanding disana, aku duduk di pinggir lapangan sambil terus memegang dompet, jam dan kaca mata milik Yoga. Semua bersorak sorak untuk membangun semangat para pemain.

Sepasang mata menangkap tatapanku. Ku lihat lengkungan di bibirnya sambil menganggukkan kepalanya. Tama. Lagi lagi dia. Aku mengangkat sebelah bibirku membalas senyumannya. Ku toleh kanan kiri, memastikan senyumannya itu memang untukku.

4-1

Angka yang cukup membuat tim kelasmu memenangkan pertandingan. Semua bersorak sorak menyambut para pemain yang berhasil memenangkan pertandingan.

"Bawain dulu ya, Im," kata Yoga saat ku dekati.

Keringat mengalir deras di wajahnya. Aku menepuk pundaknya menyalurkan kata selamat lewat tepukan itu. Yoga berlari bersama Amar memasuki kelas untuk beristirahat.

Sebelum masuk ke kelas, Shania mengajakku untuk membeli makanan karena perutnya yang sudah tidak bisa menahan laparnya. Mie ayam dipilih untuk mengisi perut Shania.

"Jangan banyak banyak sambelnya, Shan." Kataku mengingatkan Shania yang menuangkan sambal ke mangkuknya.

Shania hanya nyengir padaku sambil menuang satu sendok penuh sambal kedalam mangkuk mie ayamnya.

Kelas begitu ramai saat aku dan Shania masuk kesana. Kelas ini sudah seperti cafe dengan live music. Dentuman musik terdengar lumayan keras dengan Dania sebagai pengendalinya.

"Im, dompetku mana?" tanya Yoga sambil membuka botol minuman milikku.

Aku mengambil dompet Yoga dari dalam tas hitamku. "Nih," kataku sambil memberikan dompet kepada Yoga.

"Kamu titip apa? Aku mau ke kantin." Kata Yoga. Gelengan kepala menjadi jawaban tidak untuk pertanyaan Yoga kali ini.

Sudah dua hari kami tidak lagi memakai seragam sekolah. Yang kami kenakan adalah kaos dan training untuk olahraga. Beberapa hari lagi aku dan teman temanku yang lain akan naik ke kelas 12. Kelas tertinggi di tingkatan SMA. Tidak terasa. Ini adalah kelas terkeren yang pernah aku rasakan. Banyak hal baik dan indah terjadi di kelas ini. Kami sudah seperti keluarga. Cerita sana sini tanpa sungkan. Berbagi pengalaman apapun satu sama lain

***

Pukul 2 siang bagian Tata Usaha sekolah ini mengumumkan jika semua murid bisa meninggalkan sekolah. Tak butuh waktu lama untuk membuat semua murid berhamburan keluar dari sekolah. Ada yang langsung pulang dan pastinya ada juga yang ingin sedikit jalan-jalan bersama teman.

Aku membuka novel yang di selipkan di tas kecilku membacanya untuk menghilangkan penat. Aku tak bisa langsung pulang karena harus menunggu mama menjemputku. Sudah sekitar setengah jam aku menunggu sendirian disini.

Aku merasa ada sosok yang berlari melewatiku, tapi aku mengihiraukannya dan tetap fokus pada novel ku.

"Im?" terdengar sangat ragu. Aku mendongak dan melihat sosok jangkung yang tidak asing lagi.

Tama

Aku memgembangkan senyumku. "Tama." kataku.

Entah kenapa sekarang ini dia selalu muncul disaat aku sedang sendirian seperti ini.

"Selalu jadi yang terakhir pulang." katanya.

"Kamu juga ngapain belum pulang?" tanyaku.

Dia beralih duduk disampingku. Sesekali melirik novel yang sedang ku pegang.

"Aku nggak mungkin bisa pulang jam segini." Katanya sambil melepaskan tas selempang hitamnya.

Aku mengangkat sebelah alisku. Menatapnya penuh tanya. "Kenapa gitu?" tanyaku.

"Soalnya kamu masih disini juga." jawabnya sambil tersenyum nakal.

Aku memalingkan mataku kepandangan lainnya. Apa maksud laki-laki ini. Dia seperti menggodaku.

"Apa sih, Tam..." protesku.

Aku menutup novelku dan memasukkannya kedalam tas. Sebentar hanya terdengar desir angin diantara kita. Dia diam, aku juga diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. "Gimana Raya?" tanyaku memecah keheningan diantara kita.

Dia menatapku tajam, seolah tidak menyukai pertanyaan itu. "Gatau. Dia udah benci aku mungkin." jawabnya malas.

Raya dan Tama seperti membangun tembok individu diantara mereka yang membuat satu sama lain tidak saling berhubungan lagi. Seolah tidak kenal satu sama lain. Mungkin memang susah untuk suatu pasangan yang memutuskan berpisah, mereka harus menyesuaikan perasaan masing-masing.

"Kenapa kalian nggak pernah ngobrol lagi sekarang?" Tanyaku.

"Menurutmu aja, Im." Jawabnya malas. Tama membenarkan posisi tubuhnya. Seolah mengisyaratkan tak nyaman dengan topik yang ku singgung.

Kami kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Saking heningnya suasana, aku bisa mendengar tarikan nafas Tama yang terdengar indah di telingaku.

Hentakan terasa di pundak kiriku saat aku sadar kepala Tama sudah bersender disana. Aku menoleh kesana. Rambutnya menyentuh pipiku. Wangi tubuhnya tercium semakin dekat. Jantungku berdetak semakin kencang. Aku tak bisa bergerak sedikitpun, aku seolah terpaku olehnya.

Angin berhembus sepoi semankin membuatku nyaman berada disini. Tama tak berkata apapun, dia hanya diam.

"Kamu pernah nggak ngerasain kehilangan orang yang sangat berarti banget buat kamu?" tanya Tama.

Dia bangkit dari pundakku. Matanya menatapku dalam. Aku berusaha tak membalas tatapan itu.

"Pernah." Jawabku.

Tama terdiam. Seolah mengingat sesuatu tentang diriku. Tiba-tiba saja dia merangkul pundakku dan menarikku kepelukannya. Jantungku seolah berhenti berdetak dengan perlakuan itu.

"Aku minta maaf, aku nggak bermaksud ngungkit tentang papamu." Katanya setelah itu.

Entah kenapa aku merasa sangat nyaman dengan perlakuan Tama akhir-akhir ini. Seperti ada yang berbeda dengan sikapnya.

Aku menyadarkan diriku dari kenyamanan tidak wajar ini. Tama adalah mantan kekasih sahabatku, aku tak mungkin melakukan ini. Aku berusaha melepaskan tubuhku dari pelukannya dan tersenyum simpul padanya.

Ku rasakan sebuah getaran dari dalam tas. Waktunya sangat tepat.

Dari : Mama
Mama sudah didepan sayang

Aku menunjukkan pesan itu pada Tama. Membereskan bawaanku kedalam tas.

"Aku pulang dulu ya." kataku padanya.

Aku berjalan menjauh dari Tama.

Saat akan berbelok di lorong sekolah yang lain, aku sempatkan untuk menoleh kearah Tama. Sebuah senyuman terlihat di wajahnya.

"Hati-hati... Cantik." Teriaknya padaku.


Memang tidak ada yang salah dengan berharap, tetapi aku harus tau jika ini tak benar...

Seharusnya Aku Tau | ✔Where stories live. Discover now