2

4K 193 2
                                    

Apapun alasannya, egois akan menghancurkan segalanya...

Aku jalan dengan cepat, hampir berlari. Ku lihat jam tangan hitam dan angka 6.25 yang tertulis disana. Lima menit lagi bel masuk akan segera berbunyi dan aku belum sampai di sekolah. Entah kenapa jalan menuju sekolahku sangat macet hari ini. Aku keluar dari mobil mama dan memutuskan untuk jalan kaki saja, mengingat sekolahku tinggal beberapa meter lagi. Aku tidak ingin mendapatkan point karena terlambat. Dengan nafas terengah-engah, aku berusaha berlari masuk kedalam sekolah. Guru BK sudah berdiri di depan pintu masuk kedua, melirik jam tangan hitamnya lalu mengisyaratkan padaku untuk segera masuk. Ku lirik pula jam tangan milikku. Satu menit lagi. Untung aku tidak terlambat hari ini.

Aku merapikan sedikit bajuku sebelum masuk ke dalam kelas. Mataku bertemu dengan sosok jangkung yang berjalan gontai mendekatiku. Tama. Aku melihat keputusasaan dimatanya. Mata yang sama seperti dua hari lalu. Dia masih sangat terpukul sepertinya.

"Masih nggak enak hatinya?" Tanyaku. Dia hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaanku.

Detik berikutnya dia membukakan pintu kelas untukku. Kami berpisah jalan saat masuk kelas. Mengingat tempat duduk kami yang berjauhan. Aku melihat tempat dudukku yang sudah dipenuhi lima anak perempuan yang asik mengobrol disana.

"Darimana aja, Im. Tumben banget telat." Kata Shania sambil terus menatap ponselnya.

Aku menaruh tas oranyeku sebelum menjawab Shania. "Macet banget," jawabku.

Tatapanku bertemu dengan Raya yang sedang sibuk dengan novel barunya. Masker biru muda masih menempel di wajahnya. Aku mengangkat sebelah alisku, seolah bertanya "kenapa" padanya. Dan seolah dia mengerti maksudku, Raya menggelengkan kepalanya tipis sambil sedikit mengedipkan matanya. Kami sering melakukan ini.

Ku tengok kearah Tama yang sedang asik dengan ponsel milik Aze. Aku yakin dia sedang bermain game untuk menghibur diri. Aku tak mengerti apakah Raya sudah cerita tentang masalahnya dengan yang lain atau belum. Yang pasti dia belum bercerita padaku.

***

"Im, nanti pulang sekolah kita makan bakso dulu yuk." Kata Aira disela menunggu pesanannya di kantin siang ini. Aku mengangguk tanda setuju padanya.

Tanganku sudah penuh dengan tiga botol mineral pesanan Maya dan Bella, dan juga satu milikku. Pada jam ini pelajaran kosong karena guru biologi mendadak ada urusan. Kebahagiaan kecil untuk murid SMA seperti kami ini.

Aira adalah teman sebangku ku dua tahun ini. Kami sangat dekat. Banyak hal yang hanya kami berdua yang tau. Aku selalu berbagi apa saja yang aku tau kepada Aira. Kami dekat bukan karena nama kami yang hampir mirip, Ayma dan Aira, tapi karena kami cocok satu sama lain.

Keempat temanku sudah membuat bundaran di bangku. Mengobrol gosip tentang murid kelas sebelah yang memiliki kekasih baru. Entah kenapa kami sangat suka update berita apapun yang ada disekolah ini. Tak satupun berita baru yang kami lewatkan.

Aku membagikan satu persatu minuman kepada Maya dan Bella yang masih serius mendengarkan Shania bercerita. Dan Raya masih sibuk dengan novel barunya. Ku cari sosok Tama. Masih ditempat yang sama dengan kertas dan pensil yang sibuk dia geluti.

Aku menatap Raya, berharap dia sadar. "Kenapa, Im?" Tanya Raya tanpa menatap kearahku.

"Eh.. Ada yang mau kamu ceritain, nggak?" Tanyaku langsung pada point.

Raya menatapku lalu menutup novel yang sedaritadi dia baca. "Aku tau kalo kamu pasti sudah tau tentang masalah ini," jawab Raya.

Seolah mendengar percakapan kilat kami, keempat temanku yang lain menatapku dan Raya serius. "Ada apa, Ra, Im?" Tanya Shania.

"Aku sama Tama udah putus. Dua hari yang lalu." Jawab Raya. Shania, Maya, Bella dan Aira terkejut mendengar hal itu. Tidak denganku. Karena memang aku sudah mengetahuinya.

"Kenapa, Ra? Kalian ada masalah apa? Emosi aja mungkin kalian." Kata Bella yang langsung heboh.

"Kita ngerasa udah nggak cocok. Dan aku pikir jalan terbaiknya ya kita jalan sendiri-sendiri aja." Jawab Raya.

Sebenarnya tadi malam Tama sempat menghubungiku dan bercerita banyak hal. Dia bercerita tentang keputusan Raya yang akhirnya memutuskan hubungan dengannya. Kedua orangtua Raya tidak setuju jika Raya menjalin hubungan dengan Tama. Itu alasan mengapa Raya memutuskan hubungannya dengan Raya. Walaupun sebenarnya Raya masih menyayangi Tama. Entah mengapa Raya tak berkata jujur kepada kami.

Aku menatap Raya lekat. Dia mengangkat sebelah alisnya dan menunjukkan tatapan menyesal padaku. Ya, hubungan Raya dan Tama ini sebagian besar adalah berkat aku. Aku yang mendekatkan Tama dengan Raya. Aku tau dari awal hubungan mereka seperti apa. Tama sesekali bercerita padaku jika terjadi sesuatu pada hubungan mereka. Hanya saja satu bulan terakhir ini aku tak begitu tau apa yang terjadi pada mereka karena aku sedang kurang memperhatikan hubungan mereka.

"Semoga dia bahagia dengan pilihanku." Itu kata terakhir yang aku dengar dari mulut Raya sebelum bel berakhirnya sekolah berbunyi.

***

Aira suka sekali menyuruhku menunggu seperti ini. Seperti janji yang kita buat siang tadi. Sepulang sekolah ini aku akan makan bakso terlebih dahulu dengan Aira. Tapi sebelumnya dia ada panggilan dadakan untuk ekstrakutikulernya. Untung ada Isa yang menemaniku menunggu Aira. Sekolah sudah hampir sepi, karena setengah jam yang lalu bel pertanda berakhirnya sekolah sudah berbunyi. Aku juga sudah menghubungi mama untuk menjemput agak nanti saja.

"Aira mana sih?" Tanya Isa. "Nggak tau tadi sih katanya sebentar." jawabku.

"Immmm...." teriakan kecil itu membuatku menoleh dan melihat sosok Aira yang sedang berlari kecil kearahku dan Isa.

"Maaf ya, kayaknya nggak jadi makan bakso deh. Aku ada rapat dadakan hari ini." Katanya saat sampai di depanku.

Aku tersenyum padanya. "Yaudah nggak papa, besok besok aja makan baksonya." Kataku sambil mengambilkan tas abu-abu milik Aira.

Aira mengambil tasnya dan mencium pipiku sebelum akhirnya berlari menuju tempat rapat ekstranya. "Dasar Aira," kataku sambil menggeleng.

"Yah, Im. Jemputanku udah sampe. Aku duluan ya." Kata Isa.

"Oh yaudah nggak papa sa. Ati-ati ya." Kataku pada Isa.

Selalu berakhir seperti ini tinggal lah aku sendirian. Aku segera mengirim pesan pada mama untuk menjemputku sekarang. Mama sangat sibuk. Entah berapa jam lagi dia akan membaca pesanku.

"Selalu aja jadi yang terakhir pulang." suara berat itu membuatku tersentak. Aku menoleh pada pemilik suara itu. Tama.

Dia masih menunjukkan tatapan putus asa. "Kamu belum pulang, jadi aku bukan yang terakhir." kataku.

"Tadi aku denger Aira teriak namaku, dan barusan liat Isa lewat sendirian. Pastinya kamu masih disini." suara laki-laki ini terdengar serak. Seperti habis menangis.

Aku mengelus pundaknya lembut, menatapnya penuh kasih. Aku tak pandai menghibur orang yang sedang bersedih. Aku mendengar hembusan putus asa darinya. "Kalo masih sayang kenapa nggak coba ajak balikan." kalimatku itu berhasil membuat Tama menatapku dalam.

"Kalo aja bisa, udah aku lakuin." jawabnya. "Apa salahnya nyoba. Mungkin sebenernya Raya masih sayang sama kamu dan bisa dipikirin lagi keputusannya kemarin." timpalku.

"Kalo emang dia masih sayang sama aku, dia bakal minta maaf." Katanya.

"Kalo cinta nggak bakal mikir siapa yang bakal duluan minta maaf, kan." Bantahku.

"Kalo diantara kalian nggak ada yang ngalah dan terus egois, nggak bakal kamu dapet kata balikan." lajutku.

Hening sejenak. "Kamu nggak ngerti seberapa egoisnya kita berdua." jawab Tama.

Aku memalingkan pandanganku ke objek lain selain mata Tama. Bagaimana bisa dua orang yang saling menyayangi bisa seegois ini.

Dan disinilah keegoisan menemukan kemenangannya....

Seharusnya Aku Tau | ✔Where stories live. Discover now