15. Tamu Tak Diundang

Start from the beginning
                                    

"Gimana Feri enggak nikahin lo, El kalau lo masak saja enggak bisa." celetuk Delia dan langsung mendapat tatapan membunuh dari Elly. Sea dan Sasa hanya tertawa keras melihat tingkah mereka. Tiba-tiba Bram masuk wilayah dapur sambil memegang cangkir putih di tangannya. Tiga orang perempuan di dapur menoleh hampir bebarengan. Kecuali Sea. Iya, kecuali perempuan itu.

"Hay gadis-gadis cantik. Makan apa kita malam ini?" tanya Bram tak lupa kedipan mautnya. Delia duluan yang menghampiri Bram. Dengan gaya centil, Delia mengelus-elus lengan duda ganteng tersebut. Sea hampir saja menimpuk satu buah apel ke kepala Delia kalau saja dia tidak mengingat bahwa Delia adalah sahabatnya.

"Kayaknya aku butuh banyak makan deh. Biar kuat lihatin kamu terus." ujar Bram. Elly dan Sasa terkekeh. Lain halnya dengan Sea, dia lebih memilih untuk asyik dengan dunianya sendiri.

"Oh ya Bram, kalau boleh kepo nih, lo ada hubungan apa sih sama Sea?" tanya Elly. Hampir saja pisau tidak memotong jari tangan Sea. Lagipula apa-apaan Elly bertanya status hubungannya dengan Bram?

Bram melangkah menuju tempat Sea berada. Setengah mampus gadis itu menahan nafas mencoba mengatur ritme jantungnya yang terus memacu kencang. Wangi sabun yang biasa dipakai Bram, dengan seenak jidatnya mampir di indera penciumannya. Lebih-lebih tangan kanannya merangkul pundak Sea.

"Kalian bisa tanya sendiri sama Sea status hubungan kita apa." kata Bram sambil menaik turunkan alisnya.

"WHAT? Apa yang perlu diperjelas coba. Sudah jelas kan kamu cuma orang asing yang tanpa permisi nongol di kehidupanku. Macam tamu tak diundang." jawab Sea sarkatis.

Bram nampak menghela nafas panjang. "Sudah dijawab kan sama Sea? Saya memang orang asing di hidupnya." Bram tertawa lebar lalu pergi meninggalkan dapur. Delia, Elly dan Sasa bengong. Pikirnya Sea yang selama ini terlihat bersahabat, namun menyimpan kekesalan pada Bram. Dia makin tidak enak karena Delia maupun Elly tiba-tiba mendiamkannya sejak kepergian Bram di dapur beberapa jam yang lalu. Bahkan sehabis makan pun, Delia dan Elly pergi entah kemana meninggalkannya berdua dengan Sasa di ruang tengah

Bram

Rasanya sudah lama sekali aku enggak menghirup udara sejuk seperti ini. Sedikit jogging mungkin enggak masalah mengingat aku sudah lupa kapan terakhir kali aku jogging. Aneh memang padahal aku seorang pemilik pusat kebugaran, namun aku sama sekali mengabaikan kesehatanku sendiri. Sweater hitam milikku yang tersampir di leher kursi, aku pakai lalu bersiap untuk jogging.

Sepertinya satu villa belum ada yang bangun karena suasana masih sangat sepi. Aku memulai rute jogging-ku dari depan villa hingga kebun teh luas yang enggak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Sepanjang jalan, para petani yang rata-rata berusia lanjut nampak sedikit membungkuk sambil tersenyum ke arahku. Ramah sekali penduduk disini. Sampai di depan hamparan luas kebun teh yang hijau, aku berhenti. Kedua tangan aku rentangkan sambil memejamkan mataku. Kenangan itu kembali masuk dalam pikiranku. Tuhan, kenapa sulit sekali menghilangkan Dewi dari hatiku. Aku masih sangat mencintainya.

"Sayang, aku pengen anak pertama kita diberi nama Lintang kalau dia anak laki-laki. Tapi kalau perempuan aku suka sama nama Aura." ujar Dewi.

"Bagus kok. Aku suka nama itu."

Mataku tiba-tiba terbuka. Ingatan dimana saat aku dan Dewi selesai 'menunaikan' tugas kami sebagai pasangan suami istri yang sah. Entah kenapa aku suka dengan nama Lintang ataupun Aura. Udara hangat tiba-tiba menyelimuti tubuhku yang terbalut sweater.

"Sendiri saja?" sebuah tepukan di bahuku membuatku terkesiap. Aku menoleh dan melihat Sea sudah berdiri di belakangku. Dari penampilannya sih, aku lihat dia pasti ingin jogging.

"Saya pikir kamu belum bangun. Makanya sendiri saja kesini." jawabku. Sea mengajakku untuk duduk di atas sebuah batu besar dan menghadap ke kebun teh. "Kamu enggak ajak Delia atau Elly gitu?" tanyaku membuka percakapan.

Wajahnya menyelidik. Sebelah alisnya naik. Sungguh ekspresi yang sangat lucu menurutku.

"Mereka masih pada pelukan sama guling." jawabnya asal. Aku hanya tertawa menanggapinya. Sea pun tersenyum tipis. Aku melihat dari samping wajahnya yang sedikit memerah entah karena lelah sehabis jogging atau karena matahari yang mulai muncul. Aku menyodorkan handuk kecil yang aku bawa kepada Sea. Lagi-lagi dia memasang ekspresi lucunya.

"Tenang saja, ini belum saya pakai sama sekali." kataku. Sepertinya dia sedikit risih dengan handuk yang aku berikan padanya. Terbukti, setelah aku berkata demikian, dia mau menerima handukku dan mulai mengusap keringat yang muncul di sekitar wajahnya.

"Terima kasih." hanya itu yang dia katakan.

"Aku boleh bilang sesuatu?" tanyaku.

"Tentu saja." Sekali lagi, dengan jarak kami yang enggak terlalu jauh, aku bisa melihat wajahnya yang sangat imut menurutku. Pipinya yang chubby terlihat berwarna pink tanpa sapuan blush-on.

"Enggak jadi." sial, kenapa aku jadi gagal fokus seperti ini?

"Ya sudah aku yang akan nanya sesuatu ke kamu." Sea menghela nafas dengan rakus. "Kalau misi kita gagal apa kamu mau janji sama aku untuk bisa move-on dari mantan istrimu itu? Maksudku, aku akan bantu kamu cari penggantinya. Mungkin?" kata Sea dengan hati-hati. Aku menahan tawaku. Apa dia sedang bercanda? Menggantikan Dewi dengan yang lain saja enggak pernah aku bayangkan.

"Terima kasih atas tawaranmu tapi aku tetap yakin kalau Dewi akan kembali padaku. Meskipun aku harus melawan mantan mertuaku. Maka dari itu, aku mohon kamu tetap bantu aku. Oke?" aku mencuil dagunya kemudian menarik tangannya untuk kembali jogging di seputaran kebun teh.

On Air ( Secret Admirer )Where stories live. Discover now