9. Pesona Seorang Bram

1.9K 175 1
                                    


Sea menunggu dengan gelisah kedatangan Ardhan. Sesekali dia melihat ke arah pintu masuk kafe namun bel yang selalu tergantung di pintu tidak sama sekali berdenting. Berkali-kali dia melirik jam tangannya untuk memastikan berapa lama waktu yang terbuang untuk menunggu Ardhan. Selama menunggu, Sea hanya melamun. Pikirannya jauh menerawang saat dirinya bertemu Amira kemarin. Tangannya tetap memegang amplop cokelat yang diberikan perempuan langsing itu. Rasa sesaknya menjalar saat mengingat perkataan Amira. "Saya istri sahnya Ardhan. Kami sudah menikah 3 tahun lebih dan kamu tahu, saya saat ini sedang mengandung buah cinta kami berdua." Sea masih hafal dengan jelas raut wajah Amira saat berkata seperti itu. Datar dan terkesan dingin.

"Maaf aku terlambat, yank." Sea terkesiap. DIa baru sadar kalau sekarang Ardhan sudah duduk di hadapannya. Wajahnya nampak cerah. "Tumben ada apa ngajak aku kesini?" Ardhan menyeruput kopi hitam yang khusus dipesan Sea.

Amplop cokelat itu disodorkan Sea kepada Ardhan. Pria penggila otomotif itu sedikit bingung dengan sikap Sea yang tiba-tiba menyodorkan sebuah amplop kepadanya. "Apa ini?" tanya Ardhan dengan sebelah alis naik. Sea hanya diam.

Wajah Ardhan terkejut saat mendapati isi amplop itu. "Ini.."

Bibir Sea bergetar menahan tangis. "Aku sudah tahu semuanya dari Amira. Kemarin dia datang ke apartemenku dan menceritakan semuanya secara detail." Sea berusaha menahan air mata yang hampir dipastikan akan tumpah sebentar lagi. "Kenapa kamu bohongin aku, Dhan? Apa aku punya salah sama kamu? Jawab aku!" akhirnya Sea berhasil mengeluarkan isakannya yang sejak kemarin dia tahan. Kepala Sea tertunduk namun bahunya bergetar hebat. Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Seakan-akan mereka adalah sepasang aktor dan aktris yang tengah syuting sebuah film.

"Sea dengarkan aku, aku bukannya mau bohongi kamu. Tapi jujur aku enggak bahagia sama pernikahanku dengan Amira. Demi Tuhan, Sea." Ardhan mencoba meraih tangan Sea namun gadis itu mengelak.

"Jangan bawa-bawa nama Tuhan. Kamu salah dan kamu enggak sepatutnya nyakitin Amira apalagi aku. Ya Tuhan, aku percaya banget kalau kamu akan jadi calon suamiku kelak tapi sebelum itu terjadi, aku justru diperlihatkan Tuhan semuanya." Sea mengusap air matanya menggunakan tisu yang tersedia di hadapannya.

"Kamu tahu kan Amira lagi hamil sekarang dan kamu lebih baik pikirkan dia dan calon anakmu. Disini, biar aku yang mengalah." Sea mengeluarkan selembar seratus ribuan dan meletakkannya di atas meja. "Amira perempuan dan aku pun sama. Tapi aku dan dia bukan pilihan."

Ardhan berlari mengejar Sea keluar kafe. "SEAAA!!TUNGGU!! AKU BISA JELASIN SEMUA!!" Ardhan berhasil mencekal tangan Sea. "Aku sayang sama kamu, Sea. Aku akan ceraikan Amira secepatnya asal kamu tetap bersamaku. Aku mohon." Ardhan membawa Sea ke dalam pelukannya. Kalau saja Sea egois, dia ingin tetap bersama Ardhan tanpa memperdulikan perasaan Amira. Sea menikmati pelukan hangat dari Ardhan. Pelukan yang terakhir kalinya. Mungkin.

"Aku enggak bisa. Ini terlalu menyakitkan untuk Amira. Kalau kamu mengaku sebagai lelaki sejati, lakukan apa yang seharusnya seorang lelaki lakukan. Kamu tahu, aku enggak menyesal karena aku pernah mencintai pria pengecut macam kamu." Sea menghentak tangan Ardhan kemudian berlalu. Dia tidak ingin lelaki yang sekarang berubah statusnya menjadi mantan pacarnya itu melihatnya menangis.

**

"Are you okay, dear?" tanya Ubit sambil mengunyah bakmi goreng yang dia bawa.

"Ya."

"Mau enggak? Enak loh ini gue beli ditempat biasa." tambah Ubit. Piring itu dia sodorkan kehadapan Sea yang tengah sibuk membaca materi untuk siaran malam ini.

"Makasih sudah kenyang, mas."

Ubit merebut kertas yang menutupi wajah Sea. "Jangan sok-sokan nolak lo. Atau mau gue suapin?" Ubit masih berusaha merecoki Sea.

"Apaan sih mas Ubit. Aku lagi enggak pengen makan bakmi ah." Sea berjalan menuju studio dan menyendiri disana bahkan lampu sengaja tidak dia nyalakan. Dia benar-benar ingin sendiri tidak ada yang boleh tahu kalau saat ini hatinya sedang retak oh atau bahkan sudah hancur. Segala macam impian yang sudah dia tumpuk sejak lama akhirnya tidak ada yang tersisa sedikitpun.

Siapakah yang salah dalam hal ini? Dirinya kah atau Ardhan? Jawabnya adalah keduanya. Sea terlalu naif sampai-sampai dia tidak pernah mempunyai perasaan curiga sedikitpun pada Ardhan. Selama dua tahun pacaran, Ardhan mengaku kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Dia hanya tinggal dengan kakak perempuannya yang sudah menikah juga. Ardhan memang brengsek. Tidak sejak awal saja dia mengaku kalau sudah menikah. Meskipun pernikahannya tengah dilanda masalah. Sea merutuki dirinya habis-habisan. Tiba-tiba lampu ruangan menyala dengan segera dia menyeka air matanya dengan punggung tangan.

"Ada masalah?" tanya Ubit dengan raut wajah khawatir. Meskipun absurd, Ubit tipe lelaki yang paling peka. Terutama pada dua sahabat. "Lo bisa cerita sama gue. Lo masih anggap gue sahabat lo kan?" Ubit kini sudah duduk di samping Sea.

"I'm fine mas. Enggak tahu kenapa tiba-tiba kangen sama ibu dan bapak di Semarang." Sea beranjak untuk mengambil tasnya yang dia tinggal di luar studio.

"Ehem.." suara orang berdehem mengagetkan Sea. Saat dia berbalik. Betapa sialnya dia melihat penampakan Bram tengah asyik duduk di sofa dengan gaya tengilnya.

"Kamu lagi ngapain disini?" tanya Sea heran. Bram berdiri dan menghampiri Sea yang masih mematung. Tubuhnya yang tinggi menjulang gagah di depan tubuh Sea yang hanya sebatas dadanya saja. Mau tidak mau Sea menghirup dalam-dalam aroma tubuh Bram yang sangat memabukkan itu.

"Sea, buruan lima menit lagi on air." panggil Ubit dari dalam studio. Dengan cepat Sea tersadar dari lamunannya. Dia segera menyambar sling bagnya lalu masuk ke studio. Bram tersenyum geli melihat wajah Sea yang tiba-tiba merona. Mulai sekarang menggoda Sea akan menjadi hobi utamanya.

Empat jam Sea memandu acara, tiba saatnya dia pulang. Hari ini seperti biasa masih saja ada yang menanyakan Bram. Sampai kapan rumor itu mereda? Pikirnya para pendengar masih sangat penasaran dengan rupa Bram. Bahkan ada yang minta alamat akun facebook pribadi Bram. Oh God, ini gila! Daripada pikirannya kacau, lebih baik dia segera pulang. Syukurlah sepertinya Bram sudah pulang karena sejak satu jam yag lalu, batang hidungnya tidak kelihatan. Padahal sepanjang acara, Sea melihat Bram yang mondar mandir di depan ruangan siaran. Sea pun pamitan pada Ubit untuk segera pulang.

"Mba Sea, enggak kasihan tuh sama pacarnya?" tanya mang Ikin, sang cleaning service sekaligus penunggu di MX Radio. Dahi Sea berkerut. Pacar? Ardhan? "Kasian pacarnya nungguin mba Sea sampai ketiduran gitu." tambah mang Ikin menunjuk sesuatu dengan dagunya. Sea pun mengikuti arah yang ditunjukkan mang Ikin. Bram masih menunggunya sampai ketiduran di lobby dalam posisi duduk. "Diatas masih ada siapa mba?" pertanyaan kang Ikin membuat Sea terkesiap.

"Mas Ubit." jawab Sea tanpa mengalihkan matanya pada sosok lelaki tampan yang nampak imut saat tidur seperti ini. Mang Ikin meninggalkan Sea berdua dengan Bram lalu dengan perlahan Sea mendekat ke arah sofa yang menjadi tempat tidur Bram itu. Bram mempunyai bulu mata lentik saat matanya terpejam sempurna. Terkadang seseorang bisa terlihat menarik saat dia sedang tertidur, batin Sea.

SHIT! Ini sudah gila. Dia memuji Bram ini tidak bisa dibiarkan kemudian Sea menendang kasar kaki Bram yang terjuntai di lantai. Seketika Bram terkejut dan melompat dari tempat duduknya sambil mengelus tulang keringnya yang terasa nyeri.

"Ada cara yang lebih manusiawi lagi enggak sih bangunin orang?" protes Bram. Rambutnya sedikit berantakan namun itu menjadi point lebih di mata Sea.

"Habis kamu tidur sembarangan. Emangnya ini hotel apa? Lagian kamu ngapain dini hari masih disini?" tanya Sea dengan tangan bersedekap di dada.

"Abis saya bosan di apartemen sendirian makanya saya kemari sekaligus ketemu sama idolaku, ada yang salah kah?" Bram sengaja memasang wajah sok manisnya di depan Sea. Namun Sea bersikap acuh. Lalu dia beranjak meninggalkan Bram yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, Demi apapun, Bram benar-benar seperti bocah lima tahun yang menyebalkan!

On Air ( Secret Admirer )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang