"Pesan saja pizza, spagetti atau pasta. Ya..sekira yang kamu tahu saja rasanya." Bram terlihat sangat dingin. Sea cukup tahu diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Tidak sampai sepuluh menit, aneka makanan khas Italia sudah terpampang nyata di depan mereka. Bram belum berminat sama sekali memakannya. Menyentuhnya pun tidak. "aya ke toilet sebentar." kata Bram.

"Eits, tapi kamu enggak kabur kan? Aku mana punya uang banyak buat bayar ini semua." kata Sea sambil menarik ujung jas yang dikenakan Bram lalu dia mengeluarkan kartu kredit gold dari dalam dompetnya.

"Pegang ini sebagai jaminan kalau saya kabur. Itu no limit." Sea sukses dibuat menganga. Dengan mudahnya dia memberikan kartu kreditnya pada orang yang baru dikenal. Rasanya sepiring pasta sudah tidak enak di tenggorokan Sea. Dia memilih mendiamkan makanannya lalu menelepon Delia dan seperti dugaannya, Delia akan heboh kalau tahu Sea dan Bram jalan bareng. "Eh udah dulu ya Bramnya datang. Nanti aku ceritain." kata Sea. Buru-buru dia mematikan sambungan teleponnya.

"Kamu sudah makan kan? Ayok saya antar kamu pulang." Bram masih saja dingin.

"Tapi kamu enggak makan dulu gitu? Itu sayang loh nggak dimakan. Mubazir. Hey Bram!"

Suasana di mobil tetap saja hening. Tidak ada pembicaraan sama sekali antara mereka. "Nanti malam kamu siaran?" tanya Bram akhirnya.

Sea mengangguk. "Kenapa memangnya? Mau nelepon lagi?" tanya Sea judes.

"Maybe yes, maybe no. Saya cuma-" Sea memicingkan matanya saat melihat ada luka di tangan Bram. "Ada apa, Sea?"

"Tanganmu kenapa? Kok berdarah gitu? Biar aku obatin. Kayaknya aku bawa plester deh. Sebentar." Sea membersihkan darah yang ada di jari dan menempelkan plester bermotif kupu-kupu di tangan Bram yang masih memegang stir mobil.

"Enggak banget deh masa warnanya pink gambarnya kupu-kupu pula. Jadi berasa imut sayanya." kelakar Bram. Diam-diam Sea memperhatikan dari samping wajah Bram yang begitu memukau matanya.

**

Sea merogoh tasnya mencari ponselnya yang sejak tadi berkoar-koar. Kebiasaannya, selalu menjawab telpon tanpa melihat siapa penelponnya.

"Halo dengan Sea Cihuy disini?" jawabnya sambil membuka lemari es dan mengeluarkan sekotak jus apel kemasan lalu meminumnya.

"Hay baby. Pasti lagi kangen sama aku ya?" prutt..Sea memuntahkan kembali jus apel yang baru saja diteguknya. Itu suara Ardhan.


"Hey you! Masih ingat sama aku yang disini lumutan nungguin kamu makhluk tampan nan menyebalkan!" seru Sea dengan wajah menahan tangis. Dia terharu dapat mendengar kembali suara Ardhan yang sudah lama dirindukannya itu.

"Maafin aku sayang. Selama disini aku sibuk sibuk banget. Enggak ngecek ponsel karena memang sinyal disini buruk banget." ada jeda sedikit sebelum Ardhan melanjutkan pembelaannya. "oh ya, bagaimana kelanjutan dietmu? Selama aku enggak ngecek kamu, pasti jadwal diet dan olahragamu kacau balau." sambung Ardhan.

Ada rasa ngilu menyelinap di hati Sea. Harusnya mereka berkangen-kangen ria setelah beberapa minggu kemarin tidak saling berhubungan. Namun ini diluar ekpspetasi Sea. Ardhan justru mengingatkan kembali janjinya untuk diet. Sea menghembuskan nafasnya kasar.

"Harusnya kamu nanya kabar aku bukan nanya program dietku." jawab Sea sedih.

"Ya ampun Sea-ku tersayang, jangan sensitif gitu dong. Maafin aku deh, tapi aku kan penasaran sama program diet itu. Kamu mau kan terlihat cantik di pesta pernikahan kita nanti?" Sea hanya menjawab dengan gumaman saja.

Sea memutar bola matanya. Tiba-tiba pintu apartemennya ada yang mengetuk. "Bentar ya sayang, ada tamu kayaknya. Jangan dimatiin teleponnya." Sea meletakkan ponselnya di meja ruang tamu lalu membukakan pintu. Dia terkejut ternyata yang datang adalah Bram. "Ada apa kemari?" tanya Sea datar. Dengan cengiran khasnya, Bram menunjukkan sebungkus plastik besar dari minimarket berisi camilan untuk Sea.

"Aku tahu kamu suka sama makanan-makanan ini kan. Ada keripik kentang, cokelat, biskuit, wafer, kacang atom sampai kuaci juga saya beliin buat kamu." jawab Bram tanpa diminta. Baru saja dia diingatkan Ardhan masalah dietnya. Kali ini dengan seenak udelnya Bram menawarkan 'racun' untuk dirinya.

"Aku..aku enggak bisa disogok sembarangan ya, Bram. Maksudnya apa coba ngasih aku ini semua. Kan cukup tadi siang kamu traktir aku di restoran Italia yang mahal." Sea berkacak pinggang seolah-olah dia sedang memarahi adik kelasnya yang ketahuan mengintip roknya.

"Saya lagi enggak nyogok kamu tuh. Saya ikhlas ngasih ini semua kamu. Lagian ini kan masih lama gajian, jadi saya pikir ini cukup untuk menyumpal mulutmu di tengah malam. Iya kan?" Bram benar-benar membuat Sea jengkel setengah mati. "Saya enggak suka penolakan, Sea. Jadi ambillah ini enggak perlu sungkan-sungkan."

Dengan gerakan secepat kilat, tangan Sea menyambar plastik putih itu. "Terima kasih."

"Hanya terima kasih? Enggak disuruh masuk nih sayanya?" kerlingan nakal ditunjukkan Bram untuk Sea.

"Aku.lagi.sibuk.banget." kata Sea penuh penekanan.

"Baiklah saya pulang. Terima kasih buat hari ini." Bram berjalan menuju unitnya yang bersebelahan dengan Sea. Setelah dirasa aman, Sea menutup kembali pintunya sembari memeluk plastik putih itu. "ASTAGAAA ARDHAN!" teriak Sea.

Sea

"Terus lo diemin Ardhan di telepon? Oh my God Sea, are you crazy?" seru mas Ubit saat aku ceritakan pengalaman kemarin saat aku harus rela meninggalkan Ardhan di telepon untuk berbasa basi dengan duda keren, Bram. Ralat, duda reseh maksudku.

"Ya begitulah, mas dan untungnya saja Ardhan enggak marah. Malah pengertian." kataku sambil menghembuskan nafas lega.

"Kemarin saja lo galau berkepanjangan karena doi enggak kasih kabar, giliran di telepon lo malah menyia-nyiakan si Ardhan. Labil lo." Protes mas Ubit.

Baru saja aku ingin menjawab, dating mang Ikin menghampiriku. "Mbak Sea, ada yang nyari tuh di bawah." kata mang Ikin. Alisku naik sebelah menerka-nerka siapakah tamu di jam segini. Tepat di jam satu dinihari ini pria berjaket hitam serta memakai topi tengah berdiri membelakangiku. Sepertinya sosok di depanku saat ini adalah..Ardhan!

"Baby..!" seruku. Ardhan pun menoleh. Dia tersenyum lebar ke arahku dan di tangan kanannya terdapat sebuah buket mawar putih.

"Surprise! Aku sengaja enggak kasih tahu kamu kalau aku pulang. Gimana? Kamu terkejut kan?" tanyanya sambil memelukku. Aku kangen aroma parfum yang sering dipakainya. Aku kangen pelukan hangatnya. Aku kangen semua yang ada di dalam dirinya. Ardhan seolah candu untukku. Tubuhku menegang saat aku melihat Bram berdiri di belakang Ardhan dengan pandangan yang sulit aku artikan. Enggak lama kemudian, Bram menjawab telepon lalu pergi begitu saja. Masa bodo dengan duda itu. Aku lebih terkejut dengan kedatangan pangeran berkuda ku ini.

On Air ( Secret Admirer )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang