Aku mengangguk dan berjalan menuju mejaku. Elena dan Violet menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Aku mengisyaratkan mereka bahwa aku akan menceritakannya nanti saat jam istirahat.

Pelajaran kembali dilanjutkan dengan suasana serius. Tidak, coret itu. Maksudku dengan suasana mengantuk. Siapa yang tidak mengantuk jika membahas tentang undang-undang di pagi hari?

Tiba-tiba saja, terdengar suara ketukan pintu disusul dengan suara pintu dibuka. Semua mata langsung tertuju pada pintu, penasaran dengan siapa yang datang.

"Sial," rutukku pelan begitu melihat laki-laki yang membuatku telat hari ini berjalan memasuki kelas.

"Kamu anak baru ya?" tanya Pak Derren dengan ramah. Benar-benar berbeda dengan cara bicaranya padaku tadi.

Axel mengangguk dan tersenyum sehingga kedua lesung pipinya terlihat. Jelas hal ini membuat semua perempuan di kelasku yang sebelumnya mengantuk langsung tersadar.

Efek punya wajah ganteng.

"Yasudah, kamu boleh duduk," ucap Pak Derren sambil mengedarkan pandangan ke seisi kelas.

Please jangan di sini.

"Kamu duduk di samping Kiara tuh yang kosong."

Damn it!

Aku menepuk jidatku dengan pelan begitu mendengar perkataan Pak Derren. Aku kan ingin jauh-jauh darinya, kenapa malah semakin dekat? Aku bisa naik darah setiap hari karena berada di dekatnya.

Tapi, mau bagaimana lagi. Aku harus terima dengan lapang dada bahwa sehabis ini hari-hariku akan penuh dengan kekesalan. Pasti tidak ada satu haripun tanpa aku merasa kesal kepadanya. Aku yakin itu.

Kemudian, Axel berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. Ia tersenyum ke arahku. "Halo," sapanya pelan.

Aku menatapnya dengan tajam. "Lo ngapain di sini?"

Aku tahu pertanyaanku adalah pertanyaan yang sangat amat tidak penting. Tapi, aku hanya ingin melampiaskan rasa kesalku kepadanya.

"Terakhir kali gue cek sih gue masuk kelas sini. Eh, gue gak salah masuk kelas kan? Ini kelas 12 ipa 1 kan?" Ia menatapku dengan panik.

Aku memutar kedua bola mataku. "Alay banget sih lo."

"Ah, sakit hati gue dikatain alay," ucapnya sambil memegangi dadanya.

"Ish." Aku mendengus sebal dan kembali fokus pada bukuku. Cara pertama untuk menyelamatkan hari-hariku yang terancam adalah dengan menganggap dia tidak ada di sampingku. Maka, aku tidak perlu berbicara dengannya.

Baru semenit aku fokus pada penjelasan Pak Derren, tiba-tiba aku merasakan colekan di bahuku. Aku sengaja tidak meladeninya dan masih fokus pada bukuku. Tapi, dia ini sangat keras kepala. Dia melakukan hal itu berkali-kali sampai akhirnya kesabaranku sudah habis.

Aku menoleh ke arahnya. "Apaan sih?!" tanyaku dengan jengkel.

Ia menatapku dengan polos dan menjawab, "boleh bareng liat bukunya gak? Gue gak bawa bukunya soalnya."

"Gak. Lo duduk anteng aja dengerin penjelasan Pak Derren tuh!" balasku dengan ketus.

Lalu, ia menatapku dengan bingung. "Gue heran deh. Dari awal kita ketemu, kenapa sih lo selalu sensi sama gue?"

"Karena lo udah ngerusak hidup gue," jawabku dengan refleks. Begitu aku menyadari kata-kataku, aku langsung membekap mulutku sendiri. Kenapa aku bodoh sekali sampai mengatakan hal itu kepadanya? Aku kan ingin membuatnya mati penasaran karena tidak sadar dengan kesalahannya sendiri.

Hidden TruthWhere stories live. Discover now