"Kenapa? Lo pernah disakitin ya?" tanya Violet dengan perhatian.

Tanpa aku jawabpun, aku yakin mereka berdua mengerti apa yang kumaksud. Aku tidak mau terlalu dekat dengan Julian. Tipe laki-laki seperti Julian itu biasanya berpikir dia bisa mendapatkan perempuan mana saja yang ia suka. Dan jika aku sampai dekat dan suka pada Julian, pada akhirnya aku yang akan merasa sakit.

"Gue ngerti sekarang kenapa. Emang Julian ganteng, tapi gak menjamin dia bakal setia," ucap Elena sambil menepuk pundakku dengan pelan. "Tenang aja, kita bakal bantu lo jauh-jauh dari cowok kayak dia. Ya gak, Vio?"

"Yoi dong. Itu kan tugas kita sebagai sahabat. Melindungi sahabat kita dari cowok playboy yang kerjaannya cuma mainin hati cewek," balas Violet dengan serius.

Bibirku langsung tertarik ke atas. "Thankyou, guys. You are the best," ucapku sambil mengacungkan jempol.

"Yaudah, kita ke kelas aja. Bentar lagi bel. Lo tau kan pelajaran siapa abis ini," ucap Elena sambil membuka pintu dan membiarkan aku dan Violet keluar terlebih dahulu.

Aku menganggukkan kepalaku. "Si Bu Lani kan? Aduh, gue mau bolos aja deh rasanya," rengekku.

Masalahnya, aku memang malas bertemu dengan guru matematikaku. Dia pasti akan mencari-cari kesalahanku sehingga dia bisa menceramahiku di depan murid-murid lain. Maka dari itu, aku sangat tidak suka padanya dan juga pelajarannya.

"Kalau bisa sih, lo diem aja. Jangan ngapa-ngapain biar dia gak ngocehin lo," saran Violet.

Aku menghembuskan nafasku dengan berat dan menganggukkan kepalaku. Mau bagaimana lagi? Aku harus menghadapi Bu Lani. Lagipula, tidak mungkin aku bolos pelajarannya. Bisa-bisa aku tidak diizinkan masuk ke kelas saat pelajarannya selama satu tahun.

***

Begitu mendengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah Tante Lily, aku langsung bangkit dari tempat tidurku dan berlari ke bawah dengan kecepatan cahaya. Aku sudah kangen sekali dengan Papa, Mama, dan Brandon. Sudah hampir satu bulan yang lalu terakhir kali mereka datang ke sini.

"PAPA! MAMA! BRANDON! HALO!" teriakku sambil berlari menghampiri mereka yang baru turun dari mobil.

Mama langsung menerima pelukanku dan tertawa. "Hai, sayang. Kamu makin cantik ya."

"Ah, Mama bisa aja sih. Ngegombalin anaknya sendiri," ucapku sambil melepaskan pelukanku.

Lalu, aku memeluk Papa. "Hai, Pa. Aku kangen," ucapku dengan manja.

Papa mengelus rambutku dengan lembut dan berkata, "tapi, Papa gak kangen tuh."

Aku mengerucutkan bibirku dengan sebal. "Jahat banget sih, Pa. Setidaknya boong dikit juga gak papa kali."

"Idih, Kak, lo ngarep banget dikangenin sama Papa," ucap Brandon sambil memutar kedua bola matanya.

"Brandon!!" teriakku dengan heboh sambil mencubit kedua pipinya yang tembem.

Ia refleks mengaduh kesakitan. "Kak! Buset dah ini pipi loh. Kira-kira dikit!"

"Gak papa dong sekali-sekali. Gue kangen tau cubitin pipi lo. Pipinya Ryder gak seempuk punya lo soalnya," ucapku sambil memberikan cengiran.

"Gila itu kakak lo. Pipi gue jadi korban tiap hari dicubitin dia," lapor Ryder dengan sebal.

Brandon tertawa. "Kasian deh lo. Pasti menderita jadi korban dia tiap hari."

"Tapi, kok kayaknya kamu kurusan sih?" tanya Papa sambil memperhatikanku dari atas sampai bawah.

"Iya tuh, dia katanya mau diet. Jadi, tiap makan itu dikit banget," sahut Tante Lily yang baru keluar dari dalam rumah.

Hidden TruthWhere stories live. Discover now