μη

"Safa mana?" tanya Sandi pada semua yang ada di kelas X.1. Dia mencari-cari Safa ke segala penjuru ruangan, tetapi cewek itu tidak ada di kelas. "Dia ke mana?" tanya Sandi lagi. Dan gelengan kepala juga jawaban singkat dari teman-teman kelas Safa membuat Sandi menghela napas.

Dia sudah seperti orang yang dikejar-kejar rasa bersalah. Bukan seperti lagi, teapi dia memang sedang dikejar-kejar perasaan bersalah itu. Safa benar-benar berniat menghindarinya. Sandi sudah mencari Safa di kantin, di ruang guru, di kantor, di kelas lain, bahkan dia rela menunggu di depan toilet cewek, berharap Safa keluar dari sana. Tetapi nyatanya cewek itu tidak ada.

Sandi sudah tidak sabar ingin menjelaskan semuanya. Dia tidak suka jika menjelaskannya lewat telepon atau SMS, dia lebih lega jika sudah menjelaskan semuanya secara langsung, di depan Safa.

Dan jika dia sudah menjelaskan semuanya, dia akan mengajak Safa balikan. Sandi tersenyum membayangkannya.

Dia mencoba mencari Safa di lapangan indoor. Dari jarak yang jauh ini, dia bisa melihat Safa dan tiga temannya sedang duduk di bangku penonton.

Sandi berjalan dengan santai ke arah Safa yang membelakanginya. Dia tahu betul itu Safa. Pandangannya beralih menatap Nabila dan mengisyaratkan bahwa dia dan yang lainnya harus pergi dari sana. Seolah mengerti itu, Nabila menyenggol bahu Dias dan membuat Dias menggerutu.

"Lo kenapa sih?" tanya Dias jengkel. Dia sedang fokus mencari tugas makalah di internet dengan memakai wi-fi di sekolah. Gratis.

Dia sedang mencari isi makalah yang cocok dengan tugasnya untuk ia copy paste. Saking kreatifnya, dia cukup mengetik judul makalahnya pada kolom search di google, klik, copy, paste, EYD diperbaiki sedikit, print, dan jadilah makalah dalam beberapa jam.

"Kita cari di kelas aja yuk!" ajak Nabila.

"Ah, bentaran. Dikit lagi. Di kelas jaringan lemot. Buat apa kita ke sini kalau bukan ngejar jaringan yang lancar? Lo itu," cerocos Dias tanpa henti. Pandangannya tidak pernah lepas dari layar.

Nabila gemas sendiri dengan Dias yang tidak peka. Dengan cepat dia menarik laptop Dias dan berlari keluar dari lapangan indoor.

"Nabila... Berhen—" Kata-kata Dias terhenti saat melihat ada orang lain di lapangan itu selain mereka berempat. Dias mulai tahu apa rencana Nabila kali ini, jelas cewek itu dengan senang hati membantu Sandi meminta maaf ke Safa. Nabila pasti tidak dengan suka rela membantu Sandi, cewek itu jelas ada maunya.

Afni ikutan lari mengejar Nabila dan Dias. Sedangkan Safa berdecak kesal karena ditinggal sendiri. Dia membereskan bukunya.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai membuat Safa menebak-nebak siapa yang sedang berjalan ke arahnya.

Safa mengerjap bingung saat sepasang sepatu lain ada di hadapannya bersama dengan pemilik sepatu itu. Safa tahu siapa dia. Perlahan dia mendongak untuk menatap orang yang berada di depannya kini. Safa ingin berdiri, tetapi lengannya langsung di cekal oleh Sandi. "Tetep duduk di situ!" perintahnya. Dan Safa hanya bisa melengos.

"Mau apa lagi sih?" tanya Safa. Pasrah.

Sandi menatap Safa di sampingnya. "Sekarang gue tanya, lo tahu kenapa gue nggak ke sekolah selama hampir seminggu dan rela gue dipanggil sama guru BK?"

Safa menggeleng.

"Gue dicari sama polisi," lanjut Sandi dengan santainya yang justru membuat Safa menatap Sandi tak percaya. "Lo nggak tahu 'kan? Itu karena lo nggak mau tahu tentang gue."

Safa meneguk ludahnya. "Lo kenapa jadi buronan?"

"Ini cuma salah paham." Sandi menatap Safa lekat-lekat. "Gara-gara gue dikira yang mukul satpam sekolah SMA Antariksa sampai dia kritis di rumah sakit. Anak Antariksa pada ngiranya itu gue."

Safa membasahi bibirnya yang terasa kering. "Sekarang lo masih dikejar polisi?" tanyanya dengan nada khawatir.

Sandi menggeleng. "Gue nggak tahu. Tapi kayaknya udah nggak deh. Gue nekat ke sekolah karena gue pengen lo tahu yang sebenarnya dan nggak lari lagi dari gue."

"Sebenarnya apa?"

"Gue nggak mau anak Gerilya tahu lo itu cewek gue. Gue nggak mau mereka justru nyelakain lo di luar sekolah. Jadi, gue kasih tahu Darwin supaya nyebarin kalau kita udah putus," kata Sandi. Safa mengulang-ulang kalimat penting itu di pikirannya. Dia mulai luluh, tetapi bayangan Sandi dan Mira malam itu kembali hinggap di pikirannya.

"Jadi," Sandi menggantungkan kalimatnya.

"Jadi?" tanya Safa.

"Lo mau nggak jadi cewek gue lagi?"

Safa mengangguk. Refleks.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Sandi's StyleWhere stories live. Discover now