BAB 14

130K 6.9K 25
                                    

__

Sepanjang perjalanan tadi, Safa hanya bisa terheran melihat Sandi yang tak banyak bicara. Terakhir kali mereka mengobrol saat Sandi datang ke kelas Safa untuk menjemputnya. Dan di sinilah mereka sekarang, di depan sebuah rumah bergaya klasik yang letaknya jauh dari pusat kota. Safa tidak tahu siapa pemilik dari rumah itu. Ia melihat Sandi mengambil sebuah kunci dari dalam tasnya. Safa mengerutkan kening saat melihat Sandi membuka pintu itu. Jantungnya berdegup kencang saat bahwa hanya ada mereka berdua di sini. "Sandi, ini rumah siapa?"

Sandi meliriknya sesaat, tetapi tidak membalas pertanyaan yang ditujukan padanya. Dia terus melangkah memasuki rumah itu. Tidak ada pilihan lain saat ini yang muncul di benak Safa selain mengikuti Sandi.

"Bi! Bibi!"

Teriakan Sandi membuat Safa menatap cowok itu dengan mata mengerjap. "Bibi?" tanya Safa.

Sandi menatapnya lalu mengangguk. "Yang selalu bersihin rumah ini, dia selalunya lewat pintu belakang."

Safa tidak membalas perkataan Sandi lagi. Dia melihat seorang wanita paruh baya yang datang sambil berlari kecil ke arah Sandi.

"Iya, Den. Saya tadi baru aja mau pulang." Bibi beralih menatap Safa sambil tersenyum. "Sore, Non."

"Sore," jawab Safa singkat sambil tersenyum canggung.

"Saya pulang dulu, ya, Den. Anak saya nangis di sebelah," kata Bibi. "Nggak ada kakaknya, jadi nggak ada yang jagain lagi."

Sandi mengangguk mengerti. "Iya, nggak apa-apa kok."

"Ya sudah, saya ke sebelah dulu. Permisi, Den." Bibi kembali menatap Safa. "Non."

Safa tersenyum tipis. "Iya," balas Safa. Ia memerhatikan Bibi yang makin menjauh. Safa tak sengaja melihat beberapa guci yang tersusun rapi di pinggir dinding kayu. Matanya lalu beralih menatap sebuah papan tulis kecil yang tergantung di dinding.

"Itu papan tulis udah ada dari gue kecil. Masih Bibi rawat sampai sekarang." Safa mendongak untuk menatap Sandi. Cowok itu tersenyum lirih seraya berjalan menuju papan tulis. Safa melihat seperti sebuah tulisan dari tangan murid SD.

Lauh Mahfuzh

"Gue tahu istilah itu waktu gue kelas tiga SD, yang kasih tahu gue itu Bokap." Sandi menatap Safa. "Ini rumah lama keluarga gue," kata Sandi pelan. Sandi menghembuskan napas pelan. "Banyak kenangan di sini. Dan lo tahu kenangan itu nggak cuma tentang kebahagian, tetapi juga tentang kesedihan."

Safa terdiam. Ditatapnya Sandi yang memasang raut tenang, tetapi tidak dengan suaranya. "Gue tahu," balas Safa. Dia memilih untuk lebih memerhatikan papan tulis di depannya itu dibanding Sandi.

Sandi lalu terkekeh. Mereka berdua masih setia berdiri memandang tulisan cakar ayam itu. "Lauh mahfudz setahu gue itu buku catatan takdir. Semua takdir kita udah tercatat di sana. Dan setahu gue, ada takdir yang bisa diubah, dan ada juga yang nggak bisa, seperti kematian, rezeki, dan..." Sandi menggantungkan kalimatnya. Cowok itu menatap Safa sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Safa merasa dia dipandangi. Dan saat dia menengok ke kanan, Sandi memajukan kepalanya hingga Safa spontan menarik kepalanya mundur. "Dan jodoh," lanjut Sandi sambil terus memerhatikan Safa.

Safa mundur selangkah. "G—Gue tahu kok," jawabnya gugup sambil memegang tali tas ranselnya.

"Itulah. Seharunya gue tahu pertanyaan gue sudah terjawab selama ini. Kenapa cowok dan cewek yang pacaran sampai terhitung tahunan, ujung-ujungnya mereka bukan jodoh." Sandi terkekeh. "Mereka macarin jodohnya orang."

Safa mnggigit bibir bawahnya. "Terus kita?" Safa menunduk sambil memukul pelipis kirinya. Bego!

"Mudah-mudahan kita jodoh," jawab Sandi yang kembali berhasil membuatnya diperhatikan oleh Safa. "Atau lo mau kita putus?"

Sandi's StyleWhere stories live. Discover now