-Electrocuted-

8.5K 936 153
                                    

Aku yakin Gash tidak mengapa.

Kuharap.

Tom berkata bahwa ini urusannya, dan aku tidak usah ikut campur. Namun, perempuan yang menghabiskan waktu menyenangkan di hidupnya hanya dengan orang itu harus bertindak apa? Baik, aku melebih-lebihkannya, tetapi... Gash penting bagiku.

Walaupun ia menyeretku ke dunia kelam ini.

Tidak, itu bukan masalah besar, menurutku. Ya, bukan masalah besar. Kepalaku yang mengatakan ini masalah, tetapi aku bisa mengubah perkataannya dengan hati yang kupunya.

Yang berarti, aku harus berpikir bahwa semua ini akan berjalan dengan baik-baik saja.

Tetapi, ugh, Tom benar-benar membuatku kesal. Pangeran Es itu membawa Gash entah ke mana, dan tidak memberikan kabar tentangnya sampai hari ini. Andai pemuda itu memiliki ponsel cadangan, aku akan meneleponnya tiap jam untuk menanyakan kabar Gash. Sialnya, Tom hanya memiliki ponsel yang masih kupegang saat ini.

Dash menancapkan pisaunya ke meja makan. Wajahnya terlihat selalu muram akhir-akhir ini. Aku yakin ini karena kondisi kakaknya. Sebagai adik, walapun mereka bermusuhan, ia pasti khawatir. Aku saja yang bukan siapa-siapanya khawatir.

Aku menghembuskan napas berat. Kata-kata yang Gash utarakan pada momen itu membuatku merinding di tempat. Kata-kata yang mendadak muncul di saat aku sendiri. Di saat aku memikirkannya. Kata-kata yang mengatakan bahwa aku miliknya.

Jika... jika aku miliknya, apakah aku mempunyai hak untuk mengkhawatirkannya? Jika aku miliknya, apakah ia milikku?

Jika aku miliknya, apakah itu berarti aku akan terluka seperti pemilikku?

"Erlyn, kau belum menyentuh sarapanmu?"

Aku mengerjapkan mataku. Dash menatapku lesu dengan sebatang rokok yang memuntahkan asap tipis menyelip di jemarinya. Kerutan di wajahnya bertambah, dan matanya agak merah. Kotor.

Aku mengalihkan pandanganku ke piring. Hanya ada satu telur mata sapi, dan beberapa tetes minyak di sekelilingnya.

"Kau sendiri? Kau makan apa?" tanyaku.

Dash memberikan seringai setengah-setengahnya. "Beberapa batang mungkin dapat menyumpal laparku."

Aku memaksakan sebuah senyum. Sebenarnya aku agak terganggu menjadi perokok pasif di sini. Namun melihat Dash yang lebih kacau dari biasanya membuatku... iba. Belum lagi makanan di kulkas yang menyipit. Sepertinya tidak ada yang ingin membeli makanan keluar... atau keuangan kita menipis?

"Tidak ada apa-apa lagi di kulkas?" tanyaku lirih. Dash menggelengkan kepala.

"Entah ke mana semua makanan itu... hanya satu orang yang kucurigai." Dash tertawa hambar. "Semoga Tom kembali dengan berlembar-lembar uang di mobilnya. Kalau tidak, kutebas lehernya."

"Tidak ada uang?" tanyaku, dengan suara lebih kecil dari sebelumnya.

"Tidak... tidak banyak." Dash membuang muka. "Kalau kau mau makan enak, ikut aku saja nanti."

"Kau punya makanan?" Ternyata!

"Kata siapa aku punya makanan?" Dash terkekeh. "Kita gunakan cara cepat dan jitu saja."

Mendadak firasatku tidak enak. "Jangan bilang yang kau maksud...."

"Yah, kau lapar 'kan? Aku lapar. Lymm lapar. Jadi, kenapa tidak?" Dash menyeringai.

Aku meletakkan kepalaku, pipiku tepatnya, ke atas meja. "Yang benar saja," gumamku.

"Kita korban dari kekejaman dunia ini! Kita korbannya!" Dash mulai berbicara asal-asalan. "Kita berhak untuk melakukan apa yang kita mau. Terutama, bertahan hidup!"

PetrichorWhere stories live. Discover now