-Eighth Rain-

14.4K 1.6K 303
                                    

Aku yakin hari ini akan menjadi hari yang buruk.

Aku menyisir rambutku dengan jari tangan, kasar seperti biasa. Rasanya mataku sangat perih, entah karena akhir-akhir ini aku sering menangis atau aku kurang tidur. Aku menghela nafas dalam-dalam, menahannya, lalu mengeluarkannya.

Rasanya aku ingin mati saja, tapi... Valt?

Aku menutup wajahku dengan bantal. Aku terlalu banyak pikiran sepertinya, aku butuh sesuatu yang menenangkan hati. Seperti...

... Gash?

Aku meneguk ludahku. Kupukul kepalaku berkali-kali. Ini sangat menyebalkan! Aku ingin menangis, tapi sepertinya air mataku sudah habis. Kutatap boneka panda yang ada di sebelahku. Boneka kecil, manis, lucu, tersenyum ke arahku. Kupeluk boneka itu, boneka pemberian Valt beberapa hari yang lalu.

Rasanya hatiku sangat tidak nyaman pagi ini. Aku belum mandi, belum sarapan, belum apa-apa. Aku bahkan hanya mengenakan celana dalam dan kaus lusuh yang sudah kekecilan.

Brak!

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Langsung kututup tubuhku dengan selimut. Ayah, Ayah menatapku sambil tersenyum.

"Bicara denganku beberapa menit lagi. Ayah tunggu di ruang makan!"

Brak!

"A-ah...." Mulutku terbuka. Jujur, sekilas aku bahagia melihat wajah Ayah tersenyum tadi. Tapi... pastinya Ayah tersenyum akan suatu hal yang buruk bagiku.

Aku langsung menanggalkan pakaianku, lalu mengenakan kaus v-neck merah jambu yang terasa agak ketat dan celana jeans yang kepanjangan. Sepertinya aku akan mandi setelah bicara dengan Ayah.

Sebelum memasuk ruang makan, aku mengintip di balik dinding. Ayah terlihat sangat senang. Ia tengah membaca koran. Kopi hitam terletak di hadapannya. Aku melangkah pelan ke arahnya, kemudian duduk di sebelahnya.

"Kau tau apa?" tanya Ayah tanpa perlu melihatku. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Jantungku berdegup dengan cepat. Mataku memperhatikan Ayah dengan penuh awas, takut kalau tiba-tiba Ayah melayangkan tinjunya ke arahku.

"Ma-maksud Ayah?"

"Bagaimana sekolahmu?"

Aku memandanya kaget. Jujur, aku tercengang mendengar pertanyaan Ayah.

"Be-begitulah sekolah, haha." Aku hanya bisa tertawa canggung. Senyum Ayah melebar, namun pandangannya tetap ke apa yang ia baca.

"Tidak enak ya?"

Aku terdiam sebentar. "Iya...."

"Kau tidak usah sekolah saja kalau begini...."

"Ma-maksud Ayah?!" pekikku kaget, Aku langsung menutup mulutku. Ayah tertawa.

"Lupakan. Erlyn sayang Ayah?"

Aku mengepalkan kedua tanganku.

"Ah, tentu aku sa-sayang Ayah!" ucapku seraya tersenyum paksa.

"Haha, bagus. Erlyn ingin membuat Ayah senang?" Ayah menoleh ke arahku. Jantungku berdetak jauh lebih kencang, rasanya sakit. Wajah Ayah terlihat mengerikan. Aku mengangguk pelan menanggapinya.

"Nah, Ibu kan sudah tiada..." Ayah membenarkan kacamatanya, lalu melanjutkan perkataannya. "Sejak itu, segala hal jadi susah. Tapi di sisi lain menjadi bagus juga."

Aku mengerutkan dahiku. "Maksud Ayah?"

Senyum Ayah melebar. Ayah langsung mencengkram lengan kananku dengan sangat kuat.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang