-Pluviophiles-

13.2K 1.5K 195
                                    

Don terlalu sulit untuk ditinggalkan. Ya, aku merasa iba kepadanya, tapi.... Ia memintaku untuk menemaninya ke toilet, sarapan, dan memeluknya selama beberapa menit. Awalnya ia sempat memaksaku untuk memeriksa laptop Valt. Aku menolak.

Aku menolaknya dengan halus, sehalus mungkin. Aku merasa tidak bisa melakukannya. Maksudku, lebih baik salah satu dari teman terdekat atau keluarganya saja yang mengurusi hal-hal itu. Maksudku... aku hanya pacarnya!

Ya, aku hanya pacarnya. Tunggu... ya, aku pacarnya. Mendadak semua hal ini pecah di kepalaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Situasi ini masih terasa janggal.

Ah ya, sungguh, aku merasa agak segan berada di kamarnya. Rasanya tempat itu tidak sesuai dengan diriku. Apalagi ada seuntai tali putus di pojok ruangannya. Aku langsung meminta Don keluar dan mengunci kamar itu.

Rasanya ada seseorang yang menggenggam hatiku dengan telapak tangannya yang kasar. Aku menekan dada kiriku, tempat di mana jantungku berteriak. Aku berlari di antara kerumunan orang. Matahari sudah tinggi, melayang di sebelah lampu-lampu jalan raya. Nafasku memburu di tengah perlarian ini.

Aku membayangkan... bagaimana jika aku terpeleset karena genangan air di depan sana, kemudian kepalaku jatuh ke trotoar panas ini dan mengeluarkan darah. Lalu perlahan aku mati. Ya, itu hal yang bagus. Kenapa peristiwa seperti itu tak pernah terjadi? Yang ada hanya memar dan lubang (dari jarum Ibu dulu).

Ah iya, bisakah aku berkata bahwa aku merindukan ibuku? Yah, aku tau dulu aku sangat membencinya. Mungkin saja diriku dari masa lalu diam-diam akan menangis jika ia mengetahuinya. Namun, tanpanya... dunia ini terasa senggang. Terlalu senggang.

Aku mempercepat langkahku, sekali-kali menendang udara karena kesal. Rasanya tidak menyenangkan. Ini pertama kalinya aku merasakan apa itu kesal yang sesungguhnya. Kugenggam erat keranjang Elle di tangan kanan, kuusap wajahku dengan tangan kiri. Aku bodoh sekali....

Apartemen itu sepi, sepertinya selalu seperti itu. Aku mengetuk pintu apartemen Elle. Dash langsung menyambutku dengan senyum lebarnya. Setelah membuka pintu, ia langsung berlari kecil ke dapur. Terdengar suara dengkuran dari ruang tengah, tempat aku dan Gash kemarin.... Aku langsung menggelengkan kepalaku keras-keras, berusaha untuk membuyarkan ingatan menggelikan itu.

Kuhampiri sofa asal suara dengkuran itu. Elle tertidur di sana. Wajahnya tertutup oleh lengan kirinya. Sepertinya ia sangat lelah. Aku menyenderkan diri ke lengan sofa, melihat tiap detail wanita itu.

"Abaikan saja dia. Dia sangat letih." Dash terkekeh seraya menatap Elle tajam. Ia pun mengangkat wanita pirang itu, membawanya ke kamar. Tak kusangka Dash yang kurus kering itu dapat menggendongnya.

"Hahaha... hahaha...."

Aku meremas kulit lengan sofa itu dengan kuku tangan. Gash tiba-tiba muncul dari pintu kamarnya. Satu hal yang tidak terlalu kusenangi dari kamarnya, pintunya mengarah langsung ke ruangan ini. Ia terlihat seperti orang liar yang mencari mangsa, terlihat dari seringainya yang ganjil.

"Antara itu," ujarnya. Ia tersenyum tipis. "Atau seseorang membiusnya demi kesenangannya sendiri."

Aku mengernyit. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

Dash menepuk-nepuk telapak tangannya seraya menutup pintu ruangan Elle. "Haha," Dash memasang wajah datarnya, melemparkan tatapan sinis ke arah Gash. "Lucu sekali."

Gash menghempaskan dirinya ke sofa, secara tak sengaja menendang kakiku di tangan sofa. Kontan aku langsung menarik tanganku. Gash langsung duduk sewajarnya, sekilas membisikkan kata 'maaf' seraya tersenyum tipis.

PetrichorWhere stories live. Discover now