"Hah?" Safa terdiam kaku di tempatnya. Dia tidak bisa mengeeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.

"Nggak ah, gue nggak mau." Sandi tersenyum tipis. "Karena gue mau elo di sisi gue."

Gombal. Entah kenapa, Safa selalu mendengar Sandi seperti itu. Tetapi ujung-ujungnya, Safa diam-diam tersenyum mengingat semuanya.

Safa tak sengaja membaca sebuah kata yang ada di papan tulis itu.

Polisi

Letaknya paling bawah dan tulisannya sangat kecil sehingga Safa susah mendapatnya. Safa teringat dengan foto kecil Sandi yang memakai baju polisi. "Cita-cita lo polisi, ya?" tanya Safa.

Sandi mengangguk. "Itu cita-cita kecil gue. Dulu, gue selalu seneng ngelihat Bokap pakai seragam polisi, walaupun jarang."

"Bokap lo polisi?" tanya Safa. Safa baru tahu.

"Iya." Sandi menghembuskan napasnya.

"Safa?" panggil Sandi dengan suara pelan dan lirih yang membuat Safa mengerjap. Mereka bertatapan. Safa meneguk ludahnya. Baru bibir cewek itu terbuka, ingin mengeluarkan kata-kata, tetapi ia mengatubkan bibirnya kembali. Safa kini melihat sisi Sandi yang lain.

"Ya?" Safa menaikkan kedua alisnya. Dia berhasil mengeluarkan kata-kata itu.

"Ada yang bilang, menangis adalah cara terbaik untuk meredakan emosi. Tapi, terakhir gue nangis tiga tahun lalu. Udah lama banget." Sandi terkekeh. "Gue seolah-olah mati rasa dalam hal ini, bukan emosi, sayang, suka, atau cinta. Tapi, perasaan nyaman dalam keluarga."

Kalimat terakhir itu mampu membuat Safa mengerti. Walau diam, tetapi cewek itu sadar, masih ada banyak kisah hidup Sandi yang tidak dia ketahui. Begitupun dengan Sandi, masih banyak kisah hidup Safa yang belum ia ketahui.

μη

"Muka lo bonyok gitu, yakin nggak mau obatin dulu di dalem? Nyokap bokap lo entar heran, lagi." Safa menatap Sandi yang duduk di kursi kemudi. Cowok itu hanya menggeleng lalu tertawa.

"Lo perhatian, jadi tambah sayang."

Sialan! Padahal dalam hati, Safa tidak bermaksud lain selain... ah, cewek itu memang bisa dikatakan perhatian pada Sandi. "Ya udah, gue masuk dulu," kata Safa kikuk. Cewek itu membuka pintu mobil setelah melihat Sandi mengangguk.

Safa memasuki rumahnya, seperti biasa, Sandi tidak akan pergi lebih dulu sebelum Safa benar-benar masuk ke rumah. Perlakuan yang membuat Safa... tersenyum.

"Dianterin dia?"

Safa mendongak. Ia mendapati Ilham berdiri di ambang pintu sambil menatap keluar gerbang. "Iya," jawab Safa singkat.

"Kenapa lo nerima dia?" tanya Ilham lagi. "Istimewa. Gitu?"

Safa terdiam cukup lama hingga bahunya terangkat. "Nggak tahu."

"Ya udah." Kali ini suara Ilham merendah. "Siap-siap aja LDR kalau lo nggak mau putus."

Safa memandang Ilham heran. "Kakak serius mau pindah dari sini?" tanya Safa.

"Lebih tepatnya kita bertiga, lo, gue, dan Mama. Eh, Bibi juga ikut."

Safa mendengus. "Kenapa sih Kakak ngotot banget? Mama aja nggak maksa aku buat pindah. Lagian, ini tempat tinggal kita dari dulu, rumah Papa juga dan—"

"Kenapa sih, lo masih mikirin orang yang justru nggak mikirin kita?" tanya Ilham. Menohok.

Safa menatap Ilham dengan tatapan nanar. "Nggak mikirin gimana sih, Kak? Papa pasti mikirin kita di sana."

"Lo tahu dia di mana? Nggak 'kan?" tanya Ilham. Dia menatap Safa lekat. "Dengerin gue! Papa udah pergi dari rumah ini, Papa ngekhianatin Mama. Lo tahu gimana sakitnya Mama waktu denger kabar Papa hamilin perempuan lain di luar nikah? Lo mungkin ngerasain hal yang sama, tapi Mama lebih sakit dari perkiraan lo. Lo lihat sekarang, Mama hancur. Gue sampai kewalahan peringatin dia buat balik jadi perempuan baik-baik. Apa sekarang? Lo bisa lihat sendiri."

Perkataan yang panjang itu membuat air mata Safa bertumpuk di pelupuk matanya. Dia tidak ingin menangis sekarang. "Tapi, kenapa Kakak pengen pergi dari rumah ini? Kita tinggal di sini udah lama, Kak. Dari kita kecil."

Ilham berdecak. "Iya. Dan kita punya banyak masa lalu di sini. Lo tahu? Salah satu cara untuk ngeluapin itu adalah dengan nggal ngelihat semua yang berhubungan dengan masa lalu. Kita butuh suasana baru untuk memulai hidup tenang, terutama Mama," Ilham menggantung kalimatnya. "Gue pengen Mama balik kayak dulu dan ngelupain Papa sepenuhnya."

Safa menutup matanya dengan kedua tangan. Pertahanannya roboh. Dia menangis sesenggukan.

Ilham pindah ke sofa yang diduduki Safa. Cowok itu merangkul adiknya. Menenangkannya.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Sandi's StyleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang