"Kau belum pernah mendengarnya?" tanya Gash. Ia kini menaiki kasur di hadapanku, lalu menghempaskan tubuhnya. Aku hanya dapat melihat rambutnya dari sini. Jadi aku merangkak ke arahnya, menelentangkan tubuhku di sebelahnya, kepala sejajar dengan kepala. Hanya saja, kaki Gash masih menapak lantai. Sedangkan kakiku menendang-nendang bantal yang kutiduri tadi.

"Belum," jawabku pelan. Gash menghadapkan tubuhnya ke arahku, tersenyum.

"Di situ kau rupanya!" katanya riang. Ia menghadapkan tubuhnya ke arahku. Namun karena posisi kami, aku hanya dapat melihat mulut Gash. Aku harus agak menunduk untuk melihat kedua matanya yang selalu tertutup. Mulut itu tersenyum lebih lebar."Mau kuceritakan?"

Aku tertawa pelan. "Dengan senang hati."

"Baiklah, dikisahkan dulu... ada seorang putri yang cantik jelita bernama Snow White. Itu kau, ngomong-ngomong." Gash menyeringai.

Aku tertawa pelan. "Lanjutkan...."

"Aku tidak tahu lanjutannya."

Aku menatapnya bingung. "Eh?"

"Pokoknya yang kutahu, Snow White diberikan apel beracun oleh... aku lupa siapa. Lalu Snow White memakannya, dan dia pingsan. Agak seperti mati, sepertinya. Dia tidak bangun-bangun. Hingga seorang pangeran tampan mendatanginya dan membangunkannya."

"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran. Kalian boleh bilang aku aneh, tetapi aku belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya. Sepertinya "perlindungan" orangtuaku cukup sukses.

"Dengan cara yang buruk," sela Tom. "Snow White bisa saja mengadu perbuatan sang pangeran yang tidak senonoh ke polisi."

Aku menatap Tom, rambutnya sebenarnya. "Benarkah?" tanyaku. Aku meremas seprai kasur. Apa yang dilakukan sang pangeran? Mengiris jarinya? Menusuknya? "Seburuk itu?"

"Itu tidak buruk sama sekali," ujar Gash pelan. "Sang pangeran hanya... menciumnya."

Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Sungguhan?"

"Seingatku seperti itu." Gash menyeringai. "Tapi tadi Tom melarangku...."

"Susu," sela Tom, lagi. "Kau benar-benar harus meminumnya. Dan, Gash...."

"Apa?" jawab Gash, agak menggeram.

"... Aku perlu bicara berdua dengan Erlyn. Sebentar saja."

Kini aku yang menggeram. Perlahan aku mendongak, menatap Tom yang sudah menggenggam kotak cokelat kecil berisi... susu, mungkin. Gash turun dari kasur, kemudian ia berlambat-lambat berjalan keluar ruangan. Pintu pun ia tutup.

Tom melemparkan susunya ke sebelahku. Aku mengambilnya, merobek bungkus sedotan yang menempel, lalu mulai menyedot susu. Cairan dingin itu membasahi mulutku...

... kenapa rasanya tidak enak? Aku mengernyit.

"Akhirnya, kita berdua saja," ucap Tom lirih. Ia duduk di pinggir kasur, menatap karpet yang melapisi lantai. "Kau tahu apa yang akan kulakukan?"

Aku tidak menghiraukannya. Aku mengambil bantal, kemudian memeluknya seraya memojokkan diri ke sudut lain kasur.

"Aku minta maaf."

Aku tidak peduli, Tom.... Aku menatapnya datar. Kelihatannya Tom agak berbeda. Sikap dinginnya pudar, dan yang kulihat hanyalah seorang pemuda yang lesu dan tak berani menatap perempuan sepertiku mata ke mata.

"Aku bersungguh-sungguh," ujarnya lagi. "Apa yang kulakukan itu perintah. Tidakkah sulit menolak perintah dari orang yang lebih besar darimu?"

"Ya," jawabku singkat.

PetrichorWhere stories live. Discover now