12. Macaroon vs Cupcake

2.6K 288 25
                                    

selamat membaca, cinta.

<3

"Aku bosan. Ayo, pergi." ucap Andy dengan senyum kudanya.

Aku menggeleng sambil membuka halaman-halaman buku tebal yang harus aku pelajari sebelum memberi catatan untuknya. Sudah hampir 3 hari setelah Andy menghindariku di lorong sekolah dan Cika mendeklarasikan kalau aku suka Andy. Semenjak itu, aku menghindari tatapannya yang akan melaser bibirku untuk otomatis tersenyum ke arahnya.

"Ayolah, Dis."

"Jangan panggil aku Disa." Masih menghindari tatapannya.

"Ayolah, Andisa."

Aku terdiam tak membalas. Alih-alih, aku mencatat hal-hal penting.

Andy menggeliatkan kepalanya ke bawah mukaku, "Kau menghindariku ya?"

"Kau gila!" teriakku yang mendorong kepalanya menjauh.

"Sst!" Seoarang murid mendiamkan diriku. Oke, ini salahku. Aku berteriak di perpustakaan.

"Kau manis dan menghindariku."

Aku memasukan tablet dan eksternal keyboard ke dalam tasku. "Menurutku yang menghindari itu kau." Aku berdiri meninggalkannya.

"Hei!" Andy menarik tali tas ransel milikku yang terjuntai kebawah.

"Sst!"

Andy memutar bola matanya ke arah murid yang mendiamkannya. Ia berkata, "Apa kau marah soal yang di lorong itu?"

"Lepaskan."

"Jawab terlebih dahulu."

"Gunakan otakmu untuk berpikir, bodoh."

Andy berdiri dan mengejar kecepatan jalanku, "Ayolah, maaf. Aku hanya tidak mengira kau bakal tersenyum ke arahku."

"Ya, ya, ya." Aku terus berjalan, keluar perpustakaan.

"Andisa, aku sayang padamu!"

Aku menoleh ke arahnya. Hatiku hampir meledak karenanya. Mukanya terlihat aneh karena memasang muka serius. Rambutnya yang acak-acakan itu menjuntai kemana-mana seolah dia tidak peduli. Dia hanya peduli dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan.

"Kau salah jika memainkan kalimat 'aku sayang kamu', fancy-pants." ucapku sambil berjalan menjauh, dengan senyum yang baru saja terpatri secara permanen.

<3

Aku berjalan di lorong sekolah yang sudah mulai sepi. Bu China memanggilku ke ruangannya. Membuatku miris setengah mati. Aku tidak ingin terlibat masalah.

"Anda ingin menemui saya, bu?" ucapku seraya mengetuk pintu.

"Silahkan duduk, Nona Prawira."

Aku pun menduduki kursi yang sudah disediakan. Hari itu, Bu China tampak ceria dengan pemerah bibir berwarna terang.

"Aku ingin memberi selamat atas keberhasilanmu membimbing Tuan Pambudiega selama sebulan." ucapnya, membuatku ikut tersenyum bangga.

"Kau bisa berhenti menjadi tentor untuk Tuan Pambudiega." tambahnya, kali ini kurasakan adrenalin aneh dalam badanku. Semuanya terasa aneh.

"Oh, begitu," Aku terdiam, "Ada hal yang lain, bu?"

"Tidak, itu saja. Kau boleh keluar sekarang."

"Selamat siang."

"Selamat siang."

Aku menutup pintu ruangan Bu China. Seharusnya aku senang tidak harus bertemu muka bodoh itu lagi. Aku membuat pintar anaknya seseorang. Mungkin aku bisa menjadi guru nantinya. Woah, cukup, aku terlalu percaya diri. Aku benci perasaan ini.

Andi dan AndyOù les histoires vivent. Découvrez maintenant