1. Gunung Antika

14.4K 744 16
                                    

hai, ini adalah novel ketiga shasow si ugly duckling jowo.

selamat membaca, sayang.

<3

Mont, Wilayah Utara.
Pukul 15.50

Aku membenarkan kacamata yang terperosot saat aku menunduk berkonsentrasi membaca novel 398 halaman yang kusinggahkan di atas pahaku. Plastik pembungkusnya baru saja aku sobek. Baunya masih 'perawan'.

Sendiri, bukan hal aneh. Haha, harusnya diriku tertawa dengan keadaanku ini.

Mungkin kamu bisa mengira aku ini orang macam apa? Dan, tolong, jangan katakan itu. Aku bisa mati membeku, haha. What a creep. Aku bahkan menertawakan candaanku yang tidak sama sekali lucu.

Ah, lupakanlah.

Perlahan butiran-butiran kecil berwarna putih ini berjatuhan. Apa-apaan ini?

"Kak Andisa!"

Reno? Sedang apa bocah gendut itu berlari kearahku?

"Kakak! Ayo, pulang!"

Raut mukanya bukanlah raut muka Reno yang aku ingat. Aku tahu betul muka si gendut ini. Muka menjengkelkan itu. Tapi, kali ini Reno menarik-menarik tanganku. Keringat bercucuran di pelipisnya yang penuh lemak itu.

"Reno. Tenang. Ada apa? Diam dulu."

'Perhatian. Untuk seluruh penduduk Mont. Harap tenang. Mobil-mobil Pengawas akan segera berpatroli ke rumah masing-masing. Ambil barang-barang yang dianggap penting. Terima kasih.'

Sirene mobil Pengawas menyala mengalirkan suara ke seluruh penjuru Antika. Aku langsung menggendong Reno di punggungku. Membiarkan novel kesayanganku di pegang oleh tangannya yang selalu basah keringat. Apalagi di situasi seperti ini. Mungkin novelku sudah hanyut.

"Kak, ayo cepat! Reno takut."

Aku lebih takut Reno pingsan karena jantungnya lemah. Catat itu sebagai salah satu alasan tangannya selalu basah.

"Ssh. Kita sebentar lagi sampai."

Aku menggerakkan kakiku lebih cepat. Maaf saja, aku bukan orang yang atletis.

Perlahan tapi pasti, butiran-butiran kecil itu turun semakin deras menghujaniku dan Reno. Aku langsung menurunkan Reno dan memasangkan jaketku ke badannya yang tambun itu. Air matanya tidak berhenti menetes walau tidak ada suara yang dikeluarkannya.

Aku mengusap air matanya, "Hei, bocah besar. Kita akan selamat. Ibu dan ayah akan menunggu kita di depan pintu, oke? Kuatkanlah dirimu, jangan sampai kamu jatuhkan novel kesayangan kakak." Reno pun mengangguk.

Aku menggendongnya lagi. Berjalan sekuat tenaga walau butiran-butiran kecil itu memasuki organ pernafasanku yang sudah aku tahu, ini bukan hal yang baik bagi kesehatan semua orang.

BOOM!

Ada getaran bersumber dari Gunung Anti. Aku bisa merasakan tangisan Reno semakin kuat, membuatku jelas-jelas makin lemah.

"Sayang!"

Melihat sesosok itu langsung membuatku makin kencang berlari. Aku menguatkan gendongan Reno agar dirinya tidak terjatuh saatku menambah kecepatan berlariku.

BOOM!

Guncangan kedua tidak kalah kuat dengan yang pertama. Semakin kuat saja dugaanku tentang dari mana butiran-butiran kecil itu. Aku mendengar teriakan ayah.

"Ayo, kurang tiga rumah lagi." Aku menyemangati diriku sendiri.

Pegangan tangan Reno makin melemah. Aku tahu ada yang tidak beres dengannya. Ya Tuhan, kuatkanlah dirinya. Aku menguatkan gendonganku lagi. Kalian tidak tahu seberapa berat badan Reno ini. Kali ini benar-benar pengecualian.

Aku menidurkan Reno di sofa. Rumah sudah dalam kondisi acak-acakan. Listrik mulai padam. Air tidak mengalir. Teriakan terdengar dimana-mana. Membuatku lemas setengah mati.

"Disa, ambil selimut, senter, dan obat-obatan. Jangan ambil barang lain!" Teriakan ibu hanya sekedar masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Aku masih bingung dengan semua ini. Tadi pagi aku masih memakan sarapanku dengan keluargaku. Reno masih bertengkar dengan tetangga sebelah, Sabri. Ibu kewalahan merapikan kamar tidur Reno dan menyiapkan adonan kue di toko. Ayah sibuk membetulkan dasi di depan kaca. Ibu mengehentikan apapun yang sedang ia kerjakan hanya untuk memasangkan dasi ayah. Tidak ada yang spesial. Hanya saja, melihat ibu, ayah, dan Reno sudah membuatku lega. Apalagi kalau mereka tersenyum. Sekarang itu mungkin hal terakhir yang akan terjadi.

"Disa, cepat! Tidak ada waktu untuk melamun!" Tidak pernah aku mendengar suara ibu setinggi ini.

"Maaf, bu. Apa saja?"

"Selimut, senter, dan obat-obatan."

Aku langsung berlari ke kamar. Mengambil  tas ransel sekolahku yang cukup besar dan mengeluarkan semua isinya.

Klinting. Gelang Persahabatanku tergeletak di lantai.

Ya, Tuhan. Bagaimana keadaan si Lily dan Andra? Apa mereka sama kacaunya dengan aku? Aku tidak ingin jam terakhir sekolah kemaren adalah terakhir kalinya aku bertemu mereka. Tidak sama sekali.

"Kak Disa ..." Reno merintih.

Aku menghampirinya di sofa, "Apa, Ren?"

"Masker, kak. Masker."

"Ya, Tuhan. Oh, iya! Selimut, senter, obat-obatan!"

"Masker, kak."

"Masker juga!"

Aku menarik tangga gantung loteng. Mengambil semua kebutuhan. Aku memakai gelang persahabatan di pergelangan tangan kananku dan menuruni tangga. Ayah sedang memasukan dokumen-dokumen penting dan uang ke dalam tasnya. Sementara ibu mengambil semua makanan kaleng instan yang ada kedalam tas berisi air.

Lemari penyimpanan di bawah televisi terlihat longgar. Aku tahu ibu biasanya menyimpan perhiasan emasnya disana sebelum memasak sarapan dan aku tidak melihat satu perhiasan pun yang ibu pakai. Aku harus menyelamatkannya.

BOOM!

Guncangan ketiga dan semuanya menjadi gelap.

<3

enjoy? huft masih part pertama.

pls pretty pls comment .

s a l a m s q u a c k

Andi dan AndyWhere stories live. Discover now