3. Replay?

6.5K 504 6
                                    

selamat membaca, cinta.

<3

Sebelum aku menjelaskannya, aku mau bilang, jangan bingung. Karna aku juga, kau tidak sendirian, kok. Haha. Lucu sekali, Disa.

Hai, namaku Andisa Jane Prawira. Mungkin setelah kau tahu. Kau akan berpikir, "Cewek cupu."

Ya, kau benar sekali. Aku tidak bisa menyangkalnya. Aku bukan orang yang pintar berbicara. Aku tipe orang yang suka tenggelam dalam sandiwara di otaknya sendiri. Kebiasaan.

Aku bahkan hanya punya 2 teman. Dan aku benar-benar tidak ada ide dimana mereka sekarang. Aku kangen Lily dan Andra. Ayo, bicara tentang keluarga.

Keluarga Prawira. Sejauh ini, tidak pernah ada masalah. Tentram, nyaman. Ayah yang pekerja keras tanpa harus melupakan keluarganya. Ibu yang pintar memasak dan suka menuntut putrinya, ya, itu aku, untuk bisa memasak juga. Ugh, dan satu mahluk ukuran sebesar umur 13 tahun dan dia berumur 6 tahun, yang kusebut dengan "Adik".

Sudah ya, ibu memanggilku untuk makan malam.

<3

"Hari ini, kalian akan belajar tentang beberapa gerakan dasar basket. Seperti dribble, lay up, dan pass. Setyawan, tolong contohkan kepada yang lain."

Citra Leia Setyawan, bukan tipikal queen bee yang biasa kalian baca di novel romance karya Holly Smale. Tapi dia memang queen bee SMA XIX Cap. Feminim, merajai, penindas. Beda. Benar-benar beda. Citra adalah perempuan yang jago olahraga, badan idealis, paras muka daerah Bij yang sangat eksotis, dan super duper ramah. Heran? tentu saja heran. Tidak mungkin ada orang yang sesempurna itu.

Aku bukanlah orang yang kritis dalam hal itu tapi aku mengatakan kebenarannya.

"Siap, coach." Senyuman terpapar di wajahnya.

Semua murid kulihat terpesona dengan kecantikannya dan lihaiannya dalam melakukan yang 'katanya' disebut dribbling. Aku tahu arti kata dribbling, basket merupakan olahraga yang benar-benar jaman dulu dan aku bukan sport enthusiast.

Coach menyuruh semua 25 murid untuk membentuk kelompok. Aku hanya berkelompok dengan siapapun yang mau berkelompok denganku. Seperti Kayla, Arel, Cika.

"Aku capek, Kay." Komentar Arel.

Kayla melirik malas, "Rel, ayolah. Ini cuma passing. Kau tidak malu apa dilihat si anak Mont?"

Mataku membelak saat si perempun bernama Kayla ini berbicara tentang Mont. Cika tersenyum tipis kearahku, "Kita turut sedih sama apa yang kejadian denganmu."

"Terima kasih."

Mereka ini benar-benar orang yang baik. Tapi, apa aku harus mulai membuka diriku kepada mereka? Tidak, Disa. Belum.

"Hei, lihat deh. Si Citra mendekati Andy!" Seru Kayla yang melipat kakinya sambil duduk.

Arel terus men-dribble bola, "Kay, itu bukan rahasia lagi," ia menyeka keringat dan berkata, "ya, kan, Cik?"

Aku melihat kearah 2 subjek yang dibicarakan si Kayla. Citra dan Andy. Oh, Andy. Laki-laki kemarin. Sangat ramai dan tidak bisa diajak kompromi. Aku tidak akan membuang-buang waktuku untuk lelaki sepertinya. Tapi, Citra menyukainya? Menyukai si Andy senyum kuda?

Cika menangkap pertanyaan-pertanyaan yang 'mungkin' terlihat di wajahku, "Itu Andy Pambudiega,"

"Andy?" Sautku, masih melihat kearah Andy, Arel juga, Kayla juga, Cika juga.

Cika tersenyum, "Iya, Andy itu salah satu cowok yang baik." Ada penekanan dalam kata 'baik' yang diucapkan oleh Cika yang melirik ke arah Kayla.

"Cukup baik untuk mematahkan hatimu, huh?" Lirik Kayla dengan muka penuh arti.

Aku sama sekali tidak menangkap apapun maksud percakapan ini, mereka selalu memberi penekanan pada kata 'baik', "Um, aku tidak paham."

Arel menepuk dahinya, "Jadi, gini, Gadis Mont, Andy itu anak basket di SMA XIX Cap. Ya, anehnya, dia bukan playboy. Maksudnya, rata-rata anak yang famous atau kalangan atas itu pasti playboy. Dan kata 'anak dua ini'," Ia menunjuk ke arah Cika dan Kayla, "Cute."

Aku terkikih pelan, "Lalu, hubungannya sama patah hati itu apa?"

Ketiga orang dihadapanku terdiam, benar-benar diam. "Maaf, kalau aku keterlaluan." Ucapku lagi.

"Gak apa, Andy sering nolak cewek yang mau nembak dia." Jelas Kayla tidak acuh.

"Perempuan di XIX Cap ada yang pernah menembaknya?"

Arel melirik kearah Kayla sambil tersenyum sedikit licik. Sementara Cika menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.

"Aku gak peduli sama Andy, plis. Yang penting aku sama Erza."

<3

Aku mengenakan legging hitam dan sweater bergambar kucing dari nenek di daerah Mont. Kata ibu, nenek sedang dalam proses pemindahan ke Capitol. Aku merindukannya.

"Sayang, gimana sekolahmu?" Ibu membagikan mashed potato kepada kita bertiga, "Reno, mau?"

"Teman baru?" Tanya ayah.

"Mau, bu."

"Ya, begitulah."

Ting, tong.

"Biar, Disa yang buka."

Ayah menyaut, "Jangan terlalu lama, Disa. Ini makan malam."

"Iya, Ayah. Disa tahu."

Untuk membuka pintu aku harus berjalan keluar ruang makan, melewati ruang tamu, dari ruang tamu aku masih bisa menghirup aroma ayam panggangan ibu. Ya, Tuhan, aku lapar. Tamu ini sebaiknya cukup penting untuk meninggalkan meja makanku.

"Selamat malam. Boleh gak aku pinjem catatanmu?"

Andy Pambudiega. Rumahku adalah tempat terakhir yang mungkin dia datangi.

"Apa yang kau lakukan disini? Ini waktunya makan malam." Aku mengatakannya dengan tegas.

Dia tersenyum, senyuman yang super ambigu artinya, "Aku mau pinjam buku catatanmu, Andisa."

"Andy, Andi saja dan sebaiknya kamu pulang." Aku menutup pintu.

Andy menahannya, "Ayolah, besok kukembalikan."

"Sayang, apa yang menahanmu di depan pintu?" Ibu berjalan ke arahku, ke arah Andy.

<3

maafkan sudah jarang update. by the way keep reading and dont forget to vomments!

s a l a m – s q u a c k

Andi dan AndyWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu