Tujuh Belas

2.8K 435 9
                                    

***

Sejak sepuluh menit yang lalu, Lana terlihat hanya mengaduk-aduk makan siangnya. Michael--yang duduk di hadapannya--sesekali memperhatikan Lana sambil menyantap makan siangnya. Michael tahu jika Luke tidak masuk hari ini. Namun dia tidak tahu kenapa Luke tiba-tiba tidak masuk sekolah. Sepengetahuan Michael, Luke selalu masuk sekolah. Michael yakin absen Luke mendekati kata sempurna. Michael juga tahu jika hal itu membuat Lana merasa khawatir.

"Luke tidak masuk hari ini?" tanya Michael sambil menaikkan sebelah alisnya.

Lana menatap Michael sambil mengangguk. "Kau tahu kenapa dia tidak masuk?"

"Tidak," ucap Michael sambil menggelengkan kepalanya. "Akhirnya, kau menanyakannya juga."

"Aku hanya menanyakannya saja. Apa ada yang salah?" tanya Lana mulai menyendok makan siangnya ke mulutnya.

Michael hanya menggeleng, lalu menyantap makan siangnya kembali.

"Kira-kira kenapa dia tidak masuk, ya?" gumam Lana yang terdengar oleh Michael.

Michael tersenyum miring dan menaruh sendoknya di atas piring. "Kau mulai mengkhawatirkannya."

Lana hanya menatap Michael sekilas, lalu kembali fokus ke makan siangnya. Jika boleh jujur, Lana memang mengkhawatirkan Luke. Lana memang belum menghubungi Luke atau mengirim pesan singkat kepadanya hari ini. Ada sesuatu yang menahannya untuk melakukan itu.

"Mungkin dia sedang sakit," ucap Michael tiba-tiba. "Kenapa kau tidak menghubunginya saja?"

"Aku akan hubungi dia nanti," jawab Lana.

"Kenapa tidak hubungi dia sekarang saja?" tanya Michael kembali.

Lana memutar bola matanya. "Kenapa kau memaksa sekali, Michael?"

"Lakukan saja." perintah Michael.

Lana lagi-lagi memutar bola matanya, lalu mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Setelah dia menemukan nama Luke di kontak ponselnya, dia menyentuh tombol hijau di layar ponsel.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif..."

"Nomornya tidak aktif." ucap Lana yang terlihat agak terkejut sambil menyentuh tombol merah di layar ponselnya.

"Aneh." ucap Michael bingung.

"Mungkin ponselnya kehabisan baterai." ucap Lana yang mencoba untuk tenang.

"Mungkin." ucap Michael mengangkat bahunya.

"Aku akan hubungi dia lagi nanti." ucap Lana memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, lalu menyantap kembali makan siangnya.

***

Lana's POV

Aku bisa merasakan ada seseorang yang memelukku dari belakang. Aku membuka kedua mataku dan menoleh ke belakang. "Luke?"

Luke hanya tersenyum melihatku. Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di atas tempat tidurku. Dan, ya, jantungku mulai kembali berdebar kencang.

Aku tersenyum tipis dan mengalihkan pandanganku. "Luke, kau tahu... a-aku pikir kau memang sudah membuktikannya. Aku rasa aku akan melupakan permainan Dare itu."

"Benarkah?" tanya Luke.

"Ya," ucapku, lalu menoleh kembali ke arah Luke.

Kemudian aku merubah posisiku agar bisa berhadapan dengan Luke. Aku menatap kedua bola matanya--yang juga menatap kedua bola mataku. "Aku mencintaimu, Luke."

Senyum Luke mengembang, lalu dia mencium bibirku. Aku pun membalas ciumannya. Dia membuat posisiku terlentang, dan posisinya kini berada di atasku sambil terus menciumku. Tak lama, dia melepas ciumannya dan bangkit. "Aku harus pergi."

Pergi?

Aku menatapnya bingung. Kemudian aku merubah posisiku menjadi duduk. Luke terlihat tersenyum kembali sambil perlahan melangkah mundur menuju pintu kamar. "Selamat tinggal, Lana."

"Tunggu! Luke!"

"Lana? Hei, Lana?"

Aku membuka mataku, lalu mengedip beberapa kali. Saat pengelihatanku sudah jelas, aku melihat Ashton yang mengangkat kedua alisnya. "Kau pasti memimpikan Luke, ya?"

Sial. Kejadian tadi ternyata hanya mimpi.

Aku menyipitkan mataku. "Darimana kau tahu itu?"

"Kau menyebut namanya tadi," ucap Ashton menyingkir dariku dan menghela napas. "Kira-kira kemana anak itu, ya?"

Berbicara soal Luke, dia sudah hampir dua hari tidak masuk sekolah--tiga hari jika dia tidak masuk juga hari ini, dan aku berbicara soal ini pada Ashton kemarin. Aku sudah mencoba menghubungi Luke beberapa kali, tapi ponselnya selalu tidak aktif. Jujur, aku memang sudah melupakan permainan Dare itu, dan aku sudah tidak peduli tentang pembuktian itu. Saat ini aku hanya ingin melihatnya walaupun hanya satu detik. Aku bahkan selalu memikirkannya semenjak ia tidak masuk sekolah dua hari lalu.

Hari ini aku berniat untuk mengunjungi rumah Luke bersama Michael. Aku memang meminta Michael untuk meminta alamat rumah Luke kepada Calum atau siapapun yang tahu alamat rumahnya. Ya, betapa bodohnya aku yang sejak aku mengenal--dan mulai menyukai sampai aku menjadi kekasih--Luke, aku tidak tahu dimana ia tinggal. Lagipula Michael satu kelas dengan Calum di kelas Seni.

Aku mengusap wajahku. "Aku tidak tahu,"

Ashton lagi-lagi menghela napas. "Baiklah, kalau begitu cepat bangun atau Ayah akan meninggalkanmu."

Aku mengerang dan mulai bangkit, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Aku melihat Ashton yang sudah berjalan meninggalkan kamarku. Aku menghela napas, dan entah mengapa persaanku tidak karuan saat ini.

***

"Michael? Kenapa kau tidak menyalakan mobilmu?" tanyaku saat sudah berada di dalam mobil Michael, dan melihatnya hanya memegang setir mobil. "Kau benar-benar sudah tahu alamat rumahnya, kan?"

Omong-omong, Luke tidak masuk sekolah lagi hari ini. Dan saat di lorong loker pagi tadi, aku sudah menanyakan Michael apa dia sudah menanyakan alamat rumah Luke kepada Calum atau kepada siapapun yang tahu alamat rumahnya. Michael hanya menjawab jika dia sudah menanyakan alamat rumahnya kepada Calum, dan dia akan mengantarku ke sana saat pulang sekolah.

"Uh? Y-ya, tentu saja aku tahu. Lihatlah. Aku sedang menyalakan mobilku, kan?" kata Michael tertawa hambar sambil menyalakan mobilnya.

Baiklah. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini.

"Kalau begitu, lajukan mobilnya," perintahku. Entah mengapa perasaanku semakin tidak karuan saat ini.

3 Days // lrhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang