Delapan

3.6K 529 92
                                    

***

Sesuai janji Luke, hari ini aku dan Luke pergi ke taman kota. Hanya berdua. Ke taman kota dengan seorang laki-laki kedengarannya memang tidak aneh. Tapi seorang Luke Robert Hemmings pergi ke taman kota denganku itu baru kedengarannya aneh. Baiklah. Sepertinya aku terlalu merendahkan diriku sendiri.

Saat ini aku dan Luke sedang berada di kedai es krim--untuk membeli es krim tentunya. Luke sudah berjanji kemarin akan membelikan es krim untukku. Jujur, entah mengapa jantungku terus berdebar kencang sejak keluar rumah tadi sampai detik ini.

"Ini," ucap Luke memberiku satu cup es krim setelah mengantri cukup lama tadi.

"Thanks." ucapku sambil mengambil cup es krim dari tangan Luke.

"Mungkin kita sebaiknya duduk di sana," ucap Luke menunjuk ke arah sebuah pohon.

Aku hanya mengangguk. Kemudian Luke mulai melangkah menuju pohon itu yang berada di tengah taman. Aku mengikutinya di belakang sambil sesekali menyendok es krim ke dalam mulutku.

Saat sudah sampai di bawah pohon yang dimaksud Luke, aku dan dia duduk di bawahnya. Aku memandang ke sekitar taman--begitu juga Luke. Taman kota memang cukup ramai hari ini. Mungkin karena hari ini adalah akhir pekan dan malam Minggu. Aku jarang sekali keluar saat malam Minggu. Malam Minggu hanya aku habiskan dengan tidur di rumah. Menurutku malam Minggu sama saja seperti malam hari lainnya.

Aku menatap Luke yang sedang menikmati es krimnya. Kau tahu, dia terlihat sangat hot hari ini. Kaus hitam. Jaket hitam. Celana jeans hitam. Sepatu Converse hitam. Aku tidak ingat sudah berapa kali aku menelan ludah karena melihatnya yang begitu hot hari ini.

"Apa yang kau lihat?" tanya Luke yang seketika membuyarkan semua pikiranku tentangnya tadi.

"Eh? T-tidak ada. Aku tidak lihat apa-apa," jawabku tergagap, lalu mengalihkan pandanganku ke sembarang arah.

"Apa ada yang salah denganku? Atau ada noda es krim di wajahku?" tanyanya lagi sambil mengelap sekitar bibirnya dengan tangannya.

Aku menatap wajahnya, dan, sial, dia menatapku juga dengan penuh harapan supaya aku menjawab pertanyaannya tadi. Tapi aku baru menyadari jika memang ada noda es krim di dekat bibirnya.

"Y-ya. Ada noda es krim di dekat bibirmu," jawabku sambil menunjuk ke arah noda es krim di dekat bibirnya.

"Dimana?"

Dengan ragu aku memegang jari telunjuknya dan mengarahkannya ke arah noda es krim itu. "Di sini,"

"Oh," ucapnya lalu mengelapnya. "Thanks."

Aku mengangguk dan menarik tanganku kembali. Lalu aku mengalihkan pandanganku darinya. Baiklah. Aku masih tidak percaya aku baru saja memegang jarinya.

Aku menyendok es krim yang terakhir ke dalam mulutku. Tiba-tiba terdengar suara Luke tertawa kecil. Aku menatapnya kembali. "Ada apa?"

"Kau sama saja. Ada noda es krim di wajahmu," jawabnya sambil menunjuk wajahku.

"Benarkah? Dimana?" tanyaku sambil mengelap bagian bibirku. "Sudah?"

Luke menggeleng. "Mendekatlah,"

Aku menggeser dudukku untuk mendekat--aku memang duduk agak jauh darinya tadi. Setelah aku sudah berada dekat di sampingnya, dia menatap wajahku dengan serius. Aku menelan ludahku, dan, sial, wajahnya semakin mendekat ke arah wajahku. Apa yang akan dia lakukan? Apa dia akan menciumku? Tidak. Aku belum siap untuk mendapat ciuman pertamaku. Tapi, tiba-tiba, dengan cepat, dia mencium pipiku.

Ini pasti tidak nyata.

"Sial! Apa yang kau lakukan?!" ucapku terkejut dan secara spontan mengusap pipiku. Aku tahu seharusnya aku tidak mengusapnya. Jika aku tidak mengusapnya tadi, aku mungkin tidak akan pernah mencuci wajahku. Tapi, kau tahu, gerak refleks yang melakukan itu.

Luke tersenyum menahan tawanya. "Apa kau tidak melihatnya tadi? Aku baru saja mencium pipimu. Kau hari ini sangat lucu. Aku gemas ingin menciummu,"

Tolong tampar aku sekarang. Pasti aku sedang bermimpi.

"Dan sebenarnya tidak ada noda es krim di wajahmu." lanjutnya.

"Kau sangat menyebalkan, Luke." ucapku.

Luke hanya tertawa sambil berusaha untuk bangkit. Setelah dia sudah berdiri, dia mengulurkan tangannya padaku bermaksud membantuku untuk berdiri. "Sebaiknya kita pulang sekarang. Sudah hampir malam."

Aku mengangguk, lalu menjabat tangannya. Kemudian dia menarikku sampai aku benar-benar berdiri. Baiklah, hari ini aku sudah menggenggam tangannya dua kali. Aku perlu mencatat itu.

***

"Kau yakin tidak mau ditemani lagi?" tanyanya dengan nada bercanda.

"Tidak," jawabku singkat.

"Baiklah," ucapnya. "Padahal tempat tidurmu sangat nyaman."

Benarkah? Tidurlah denganku lagi jika begitu.

Aku memutar bola mataku sambil tersenyum miring. "Selamat malam, Mr. Hemmings. Jangan lupa matikan TV-nya nanti."

Aku bangkit dari sofa dan mulai melangkah meninggalkan Luke. Saat aku baru berjalan beberapa langkah, aku teringat sesauatu. "Omong-omong, anggap saja rumah sendiri. Aku lupa untuk mengatakan kalimat ini kemarin."

"Baiklah, Mrs. Hemmings."

Aku yang baru saja akan menaiki tangga, seketika membeku mendengar yang dikatakan Luke tadi. Apa tadi dia memanggilku Mrs. Hemmings? Apa dia sadar saat memanggilku seperti itu?

Setelah aku menutup pintu kamarku, aku langsung berbaring di atas tempat tidur. Lalu aku menarik selimut sampai bahu. Banyak sekali yang terjadi hari ini. Pergi ke taman kota bersama Luke. Makan es krim bersama Luke. Luke mencium pipiku. Aku menggenggam tangannya dua kali. Luke memanggilku Mrs. Hemmings. Serius, aku perlu mencatat kejadian hari ini. Tapi tanpa dicatat pun kejadian hari ini akan selalu ada di dalam ingatanku.

Baru saja aku memejamkan mataku, aku teringat sesuatu.

Ashton akan pulang besok.

Apa yang harus aku katakan padanya jika Luke menginap di sini tanpa alasan yang jelas?

****

Maap dah kalo part ini agak gaje. Gue lagi kurang ide :-(

Btw, coba tebak kira-kira apa alasan Luke nginep di rumahnya Lana? Wkwk

Tebakan yang mendekati nanti gue kasih Luke Hemmings beserta ketiga temannya :-)

3 Days // lrhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang