Sembilan

3.1K 511 39
                                    

***

Baru saja aku keluar dan menutup pintu kamarku, aku mendengar pintu kamar tamu terbuka. Aku berbalik dan melihat Luke yang sudah berdiri di depanku. "Hai, Luke."

Luke hanya tersenyum miring dan menggigit bibir bawahnya sambil memperhatikanku dari bawah sampai atas. Dia mulai melangkah mendekatiku, dan aku perlahan melangkah mundur. Jujur, cara dia menatapku sungguh mengerikan. Aku bisa merasakan jantungku mulai berdetak kencang. Bukan karena aku gugup ditatap Luke, tapi karena aku takut pada tatapannya.

Punggungku sudah menyentuh pintu kamarku yang tertutup, dan Luke sudah berada di hadapanku. Jaraknya denganku sangat dekat sampai aku tidak bisa melangkah maju atau mundur. Ya Tuhan, apa yang akan dia lakukan?

"A-apa yang kau lakukan, Luke? K-kau membuatku tidak nyaman." ucapku tergagap.

Dia tersenyum miring. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya di wajahku. "Kalau begitu, aku akan membuatmu merasa nyaman,"

Luke mulai mencium leherku. Aku bisa merasakan tangannya menarik kausku ke atas. Aku memejamkan mataku--antara merasa takut dan merasakan hal aneh yang aku tidak bisa jelaskan. "L-luke,"

"Kau tidak mengangkatnya?" tanya Luke pelan yang terdengar hampir berbisik sambil masih mencium leherku. Jujur, suaranya kini memang menggoda.

"A-apa maksudmu?"

"Kau harus mengangkatnya," ucap Luke yang kini beralih mencium bibirku dan...

Drrrttt... drrrttt...

Aku membuka mataku perlahan, lalu aku mengedip beberapa kali sampai pengelihatanku mulai jelas. Sial, ternyata tadi itu hanya mimpi. Tapi rasanya nyata sekali.

Aku mengambil ponselku di atas meja di samping tempat tidur. Terdapat nama Ashton di layar ponsel. Aku menyentuh tombol berwarna hijau.

"Halo? Kau pasti masih tidur, ya? Lama sekali kau mengangkatnya."

"Mhm. Ada apa kau menghubungiku pagi-pagi begini?"

"Aku hanya ingin menanyakan apa rumah dalam keadaan baik-baik saja? Kau tidak membakarnya, kan?"

"Manusia macam apa aku membakar rumah sendiri,"

"Baguslah. Omong-omong, aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Aku mungkin akan sampai satu jam lagi."

"Hanya itu yang mau kau bicarakan? Aku mau tidur lagi."

"Baiklah, tukang tidur."

Aku menutup teleponnya, lalu melihat jam yang terdapat di layar ponsel. Sekarang pukul 09:14. Tiba-tiba aku teringat Luke dan mimpiku tadi. Sial, kenapa aku bisa bermimpi seperti itu?

Dan, oh.

Apa yang harus aku katakan pada Ashton nanti jika melihat Luke ada di rumah ini? Aku pun belum memberi tahu Luke jika Ashton akan pulang hari ini.

Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja di samping tempat tidur. Aku bangkit dan melangkah ke arah pintu kamar. Setelah aku membuka pintu kamar, aku melihat ke arah pintu kamar tamu. Pintunya tertutup. Aku tidak tahu jika Luke masih tidur di dalam atau dia sudah berada di lantai bawah.

Aku melangkah keluar dari kamarku dan turun ke lantai bawah untuk menuju dapur. Setelah berada di dapur, aku tidak melihat Luke di sana. Aku melangkah menuju ke ruang keluarga. Aku tidak melihatnya juga di sana. Baiklah, sepertinya dia masih tidur.

Aku kembali ke dapur, lalu mengambil kotak sereal dari lemari dapur dan kotak susu dari kulkas. Aku menuang sereal dan susu secukupnya secara bergantian ke dalam mangkuk. Aku menaruh mangkuk sereal di atas meja makan dan duduk di kursi meja makan.

Sambil menyendok sereal ke dalam mulutku, aku terus berpikir alasan yang tepat untuk dijelaskan pada Ashton nanti tentang Luke yang menginap di rumah. Apa aku harus bilang jika Luke kabur dari rumahnya dan meminta untuk menginap di sini sampai besok? Atau aku menyuruh Luke untuk pulang hari ini? Jika aku menyuruhnya pulang, bagaimana jika asumsiku yang pertama waktu itu benar? Tapi sebaiknya aku memberi tahu Luke terlebih dahulu jika Ashton akan pulang hari ini. Aku berharap Luke sudah bangun sekarang.

Saat aku menyendokkan sereal terakhir ke dalam mulutku, aku melihat Luke dengan rambut bangun tidurnya melangkah masuk ke dalam dapur. Dia tersenyum padaku, lalu duduk berhadapan denganku.

"Kau tidak sarapan?" tanyaku sambil menaruh sendok ke dalam mangkuk.

"Sebentar lagi," jawabnya. Tangannya menyilang di atas meja sambil menatapku.

Menyadari dia menatapku, aku membalas tatapannya dan mengangkat sebelah alisku. Entah mengapa kali ini rasanya biasa saja saat dia menatapku. Apa mungkin karena dia sudah terlalu sering menatapku?

"Ada apa kau menatapku?" tanyaku.

"Tidak ada,"

Aku menghela napas. "Omong-omong, kakakku akan pulang hari ini dan dia akan sampai di rumah sekitar satu jam lagi,"

Dia mengangkat sebelah alisnya. "Lalu apa masalahnya?"

"Masalahnya adalah kau, Luke,"

"Oh," ucapnya, lalu mengangguk. "Aku mengerti. Tenang saja."

Bagaimana aku bisa tenang? Ashton saja tidak mengenal Luke--begitu juga Luke. Bagaimana jika Ashton tidak suka dengan Luke lalu mengusirnya?

"Aku tidak mau terjadi sesuatu nanti." ucapku.

"Kau mencemaskan aku?"

Ya, aku mencemaskanmu, Luke. Aku sangat mencemaskanmu.

"Bagaimana tidak cemas jika kau saja tidak memberi alasan kenapa kau menginap di rumahku? Kenapa kau tidak beri tahu saja langsung alasannya?"

Dia tersenyum. "Tenang, Lana. Aku akan memberitahu alasannya kalau waktunya sudah tepat,"

"Tapi kapan, Luke?"

Luke bangkit dari duduknya. "Kalau waktunya sudah tepat,"

Aku memutar bola mataku. "Terserah."

****

Awal cerita part ini apaan bat anzeng wkwk

Ngaku aja suka bikin part begituan *eh

3 Days // lrhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang