Lima Belas

2.8K 423 12
                                    

Saat aku sampai di taman sekolah, aku melihat Luke sedang duduk di bawah pohon--tempat yang sama saat aku dan Lana makan siang tadi. Dia menyadari kehadiranku dan mengisyaratkan untuk menghampirinya. Jujur, aku jarang--atau bahkan tidak pernah--berbicara dengan Luke. Walaupun aku sekelas dengannya di kelas pilihan Bahasa Spanyol.

"Kau tidak bersama Lana?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.

Luke menggeleng sambil menunduk. "Dia marah padaku."

"Sudah kuduga." gumamku.

Luke menoleh ke arahku. "Apa maksudmu?"

Baiklah, dia mendengar gumamanku. Apa suaraku terdengar begitu jelasnya saat aku bergumam?

"Eh? Maksudku-" ucapku terhenti sambil menoleh ke arahnya juga, lalu aku menghela napas. "Baiklah. Sepertinya aku harus memberitahu kejadian itu padamu,"

"Apa maksudmu kejadian itu?" tanya Luke tidak mengerti.

"Jadi," ucapku terhenti dan sempat berpikir sejenak untuk merangkai kata yang tepat untuk disampaikan padanya. "Lana mendengar pembicaraanmu dengan Zac saat di lorong tadi."

"Kau serius?" tanyanya terkejut.

Aku mengangguk dan menjelaskan kejadian saat aku melihat Lana di balik tembok yang seperti--atau yang memang--sedang menguping dan memata-matai seseorang.

"Sial." gumam Luke yang kini terlihat kesal. "Zac memang brengsek. Dia seenaknya mengatakan kalau Lana adalah pacar pura-puraku tanpa melihat kenyataannya."

"Jadi kenyataannya kau benar-benar suka pada Lana?" tanyaku.

"Tentu saja. Sumpah, aku memang benar-benar suka dan sayang padanya," ucap Luke. "Aku bahkan mengatakannya pada Zac tadi."

Oh. Sepertinya Lana tidak mendengar pembicaraan Luke dan Zac secara keseluruhan tadi.

"Aku bahkan sudah suka pada Lana sejak kelas satu." tambahnya.

Apa?

"Lalu kalau kau suka pada Lana sejak awal, kenapa dulu kau berkencan dengan Alanis?" tanyaku.

"Jujur, saat itu aku memang menyukai keduanya sekaligus," jawab Luke. "Tapi entah mengapa aku memilih Alanis yang sudah jelas tidak sebaik yang aku pikirkan."

Oh, baiklah.

Luke menghela napas. "Itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang aku benar-benar ingin serius pada Lana."

Dari raut wajahnya, dia memang terlihat serius. Jujur, aku tidak menyangka saat Luke berkata jika dia sudah suka pada Lana sejak kelas satu. Aku tidak bisa membayangkan respon Lana jika dia mengetahui ini.

"Jadi... apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyaku agak ragu.

Luke menggeleng kecil, lalu menundukkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Dia menyuruhku untuk membuktikan kalau aku benar-benar suka dan sayang padanya,"

"Kalau begitu, buktikan." ucapku.

"Tapi bagaimana?" tanya Luke sambil menoleh ke arahku kembali. "Aku merasa aku sudah membuktikannya."

Aku hanya terdiam. Aku tidak ahli dalam hal seperti ini. Jika membuktikan dalam hal video game, aku pasti bisa membantu atau setidaknya memberikan saran.

"Michael," panggil Luke tiba-tiba, "kau, kan, sahabatnya, apa kau tidak pernah memiliki perasaan padanya?"

Baiklah, kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa aku harus menjawab dengan jujur atau tidak?

Jujur, aku memang suka pada Lana. Tapi aku tidak pernah menyatakannya. Aku takut jika dia tidak suka padaku. Aku sudah merasa nyaman menjadi sahabatnya. Lagipula dia suka pada Luke. Obrolannya tentang Luke sudah seperti makananku setiap hari. Ya, memang terkadang aku merasa agak cemburu saat dia berbicara tentang Luke. Tapi sebisa mungkin aku bersikap normal saat dia berbicara tentang Luke. Dia juga pernah menanyakanku siapa gadis yang aku sukai saat ini. Tapi aku tidak memberitahu namanya--atau bahkan inisialnya--karena sudah jelas, gadis itu adalah Lana.

"Eh? Sebenarnya..." jawabku ragu. "Tapi kau jangan marah, ya?"

Luke hanya tersenyum dan mengangguk. Baiklah, sepertinya menjawab dengan jujur akan lebih baik. "Sebenarnya... ya... aku memiliki sedikit perasaan padanya. Tapi aku merasa lebih nyaman menjadi sahabatnya,"

"Tapi... kau tahu? Dia juga sudah suka padamu sejak kelas satu." lanjutku.

Baiklah, aku rasa aku sudah mengalihkan topik pembicaraan. Dan maafkan aku, Lana, sudah memberitahu rahasiamu tentang Luke kepada Luke sendiri.

Luke terlihat tidak percaya. "Benarkah?"

Aku mengangguk. "Dia selalu berbicara tentangmu setiap hari. Dan, oh... baiklah, aku seharusnya tidak boleh berbicara tentang ini."

Luke terlihat hanya tersenyum sambil melihat ke arah rumput.

"Omong-omong, soal permainan Dare itu... aku masih bingung. Bagaimana bisa itu terjadi?" tanyaku agak ragu. "Tapi kalau kau keberatan berbicara tentang hal itu, kau tidak harus menceritakannya."

Luke menggeleng, lalu menatapku. "Tidak. Aku tidak keberatan,"

***

Kilas balik

Luke's POV

Aku tahu makan siang dengan Zac adalah hal terburuk yang pernah aku lakukan. Apalagi bersama dengan kedua teman laki-laki pengikutnya. Akhir-akhir ini aku memang sering makan siang sendirian. Aku biasanya makan siang dengan Calum. Tapi karena dia sudah mengkhianatiku, aku memutuskan untuk tidak berteman dengannya lagi.

"Hei," ucap Flint tiba-tiba, "bagaimana kalau kita bermain Truth Or Dare?"

Kau serius? Permainan itu lagi?

"Membosankan," gumamku.

"Kalau begitu kita ganti menjadi permainan Dare." ucap Zac.

"Tetap membosankan." gumamku lagi.

Aku bisa merasakan Zac menatapku. "Dasar pengecut. Bilang saja kalau kau takut, kan?"

Aku menatapnya tajam. "Aku bukan pengecut, dan aku tidak takut dengan permainan Dare bodohmu itu,"

"Kalau begitu kita bermain sekarang." tantang Zac.

Baiklah, siapa takut?

****

Baca ff baru gue dong judulnya temen sebangku. Kalau suka vomment yak makazeeeh :*

3 Days // lrhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang