Empat

3.8K 562 8
                                    

Hanya ingin memastikan. Baiklah, Luke, kau ingin memastikan aku masih jomblo? Hm.

Tak lama, minivan Luke berhenti tepat di depan rumahku. Hujan sudah mulai mereda saat kami sampai. Luke melihat rumahku seperti sedang merekamnya untuk diingat.

"Terima kasih atas tumpangannya, Luke." ucapku sambil melepas sabuk pengaman.

"Sama-sama." ucapnya sambil menatapku lalu tersenyum. "Sampai ketemu besok, Lana."

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku membuka pintu dan melompat keluar dari minivan. Kemudian aku menutup kembali pintunya dan berdiri di halaman rumah. Aku terus melihat minivan Luke yang mulai melaju menjauh. Aku merasakan bibirku tidak berhenti tersenyum--mungkin sejak turun dari minivan Luke tadi. Aku menghela napas dan melangkah masuk ke dalam rumah.

***

"Michael! Kau harus dengar ceritaku yang satu ini." ucapku saat sampai di loker dan melihat Michael di sana.

"Biarku tebak," ucapnya berpikir sejenak. "Pasti tentang Luke, kan?

"Kau benar!" ucapku bersemangat. Aku membuka pintu loker dan mengambil beberapa buku.

"Jadi apa ceritanya?" tanyanya sambil melempar beberapa kertas ke dalam lokernya, lalu menutup pintu loker.

"Aku pulang bersama dengannya kemarin. Dan dia duluan yang mengajak," jawabku sambil menutup pintu loker.

"Benarkah?" tanyanya yang kini menatapku.

"Ya," Aku mengangguk cepat dan menatapnya juga. "Dia juga mengira kita berpacaran."

Michael tiba-tiba tertawa setelah mendengarku. Aku sudah menduga dia akan tertawa juga mendengar hal itu. Tawa Michael kini semakin keras dan orang-orang di sekitar mulai melihat ke arah Michael--dan juga aku.

Aku memukul lengannya pelan. "Berhenti tertawa, Michael!"

Tawa Michael mulai mereda. "Baiklah. Itu sangat lucu. Apa yang membuatnya berasumsi seperti itu?"

"Dia bilang dia melihat kita selalu bersama kemanapun di sekolah," jawabku.

Michael benar-benar berhenti tertawa dan berdeham. "Faktanya, memang benar kita selalu bersama hanya di sekolah. Dan kita hanya bersahabat, bukan begitu?"

Aku mengangguk. "Tapi, kau tahu, akhirnya dia berbicara denganku lagi."

"Itu berarti tanda-tanda itu benar, ya?" Michael mengangkat sebelah alisnya.

"Sial. Kau benar. Tanda-tanda itu,"

Aku benar-benar lupa dengan tanda-tanda itu. Tanda saat Luke menatapku akhir-akhir ini.

"Aku heran mengapa dia melakukan itu? Dia tidak pernah berbicara padamu sejak kelas dua, dan kini dia seperti tersambar petir tiba-tiba berbicara denganmu lagi." ucapnya.

"Aku tidak tahu. Mungkin kini dia sadar kalau aku bagian dari temannya juga." ucapku sambil menggidikkan bahuku.

Yang dikatakan Michael ada benarnya. Tapi aku tidak menganggapnya terlalu serius. Mungkin saja dia hanya ingin berbicara denganku lagi. Aku tidak ingin terlalu mengharapkannya dulu saat ini.

"Hari ini kau sekelas dengan Luke di kelas Bahasa, kan?"

"Ya. Aku harap ada perubahan hari ini."

Sejak kemarin aku terus memikirkan apa yang akan terjadi hari ini dan ke depannya setelah kejadian kemarin. Apa Luke akan mulai berbicara padaku lagi atau hanya tatapan dan senyuman lagi seperti hari-hari yang lalu.

Bel pelajaran pertama berbunyi. Aku segera menuju kelas Bahasa, dan Michael menuju kelas Seni. Saat sampai di kelas, aku melihat Luke sudah duduk di bangku depan, menatapku dan tersenyum padaku setelah menyadari kehadiranku. Aku membalas senyumannya dan menuju bangku di belakang. Baiklah. Tak ada perubahan. Hanya tatapan dan senyuman lagi.

***

"Jadi," ucap Ibuku setelah semuanya selesai dengan makan malam masing-masing, "kami akan pergi ke Paris besok untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami. Aku harap kalian bisa menjaga rumah selama tiga hari kedepan."

Ibu tersenyum saat mengumumkannya dan menatap Ayah, Ashton, dan aku secara bergantian. Kemudian, aku melirik ke arah Ashton, begitu juga dia. Ashton seperti memberi isyarat, "Ini saatnya untuk memberitahu acara perkemahan.". Dia sama sekali belum memberitahu itu kepada Ayah dan Ibu. Tapi aku tidak peduli karena itu adalah urusannya.

"Jadi begini," Ashton mulai membuka suara, "aku harus pergi ke acara perkemahan di hari yang sama. Jadi..."

Ashton berhenti berbicara dan menatap Ayah dan Ibu secara bergantian untuk meminta persetujuan. Ayah dan Ibu menatapku sejenak yang sedang minum. Aku hanya memberi tatapan, "Apa?" sambil menyimpan gelas di meja. Itu, kan, urusan Ashton. Aku tidak mau ikut campur. Tapi jika mereka tidak jadi pergi, jangan salahkan aku.

"Apa acara perkemahannya tidak bisa dibatalkan?" tanya Ayah.

Ashton menggeleng. "Tidak. Ini acara wajib. Lagipula kalian pergi saat akhir pekan, kan?"

Sudah kuduga dia akan berbicara seperti itu.

"Benar juga," ucap Ayah sambil mengangguk, lalu melihat ke arah Ibu.

"Dan aku akan pulang pada hari minggu." ucap Ashton.

Ayah dan Ibu saling menatap. Tak lama, mereka mengangguk secara bersamaan dan menatap Ashton.

"Baiklah," ucap Ibu sambil menghela napas, "kau boleh pergi ke acara perkemahan itu,"

Ashton tersenyum dan memberiku tatapan, "Sudah ku bilang, mereka akan mengizinkannya.".

Selamat Ashton. Tak sia-sia aku percaya padamu selama ini.

"Dan," ucap Ibu yang kini menatapku, "aku harap kau bisa menjaga rumah dengan baik, sayang."

Aku hanya mengangguk. Ya, aku tidak mungkin mengacau di rumah. Apalagi mengadakan pesta dan mengundang seluruh murid di sekolah untuk datang. Lagipula siapa yang mau datang jika aku mengadakan pesta? Jawabannya: mungkin tidak ada--atau hanya Michael yang datang. Aku bukan anak populer di sekolah.

3 Days // lrhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang