[17] Kelam

1.8K 149 21
                                    

"Lepaskan aku," jawabku pelan, namun dengan nada memaksa kepada Ratu Hadeline.

Bukan aku tidak senang bertemu dengan ibuku lagi. Tetapi, kulihat di ujung sana Fauzi sudah semakin terengah-engah.

Seakan mengerti dengan keadaanku, Ratu Hadeline mengangguk pelan sambil melepaskan rangkulan kedua tangannya dari bahuku.

"Jika diperbolehkan, izinkan aku untuk mendekatinya, Ratu Hadeline" pintaku halus, mengarahkan pandanganku pada Fauzi.

"Tetapi sayang...." sela Ratu Hadeline.

"Aku mohon?" pintaku lagi.

"Tidak boleh! Dan tidak akan, Kirana! Sudah kubilang, lepaskan tiaramu itu maka ia akan aku lepaskan pula!" Puteri Katerina menyela dengan emosi yang berapi-api.

"Akan aku lakukan" jawabku singkat, seakan tanpa berpikir panjang.

"Tidak Kirana! Kau tidak boleh melepaskan tiara itu!" cegah Lutfi sembari mencengkram pergelangan tanganku.

"Kali ini, aku mohon kau untuk tidak ikut campur" sergahku sambil melepaskan cengkramannya.

Lutfi sedikit kaget, namun memilih mundur dan menjauhiku.

Entah arwah apa yang merasukiku, atau emosi apa yang mengambil alih tubuhku, perasaan marah mulai muncul menggebu-gebu. Aku tidak boleh lagi terlihat lemah di hadapan Puteri Katerina. Aku harus memikirkan cara lain untuk melawan orang keras kepala seperti dia.

Kutarik napas panjang, seakan begitu berat, dan panjang dalam detik-detiknya. Perlahan tanganku terulur, meraih tiara kecil di atas kepalaku. Kulihat Puteri Katerina tersenyum puas, ia melangkah mendekatiku, mengulurkan tangannya juga. Menunggu tiara itu berpindah pada tangan halusnya.

Tiara itu terlepas dari kepalaku, aku tersenyum kecil. Kini tanganku sudah setengah jalan meletakkan benda berkilauan itu di tangan Puteri Katerina.

Bagus.

"Mudah juga ternyata membodohimu" aku balas tersenyum licik, kutarik lagi tanganku yang terulur.

Tentu saja aku tidak akan memberikan benda itu kepada Puteri Katerina. Dengan jarak sedekat ini, tangan kiriku yang masih memegang pedang, langsung kuayunkan cepat. Membuat sayatan tipis yang melintang di pinggang kiri Puteri Katerina.

"Keparat!" aduh-nya sambil meringis, menutupi pinggangnya yang berdarah.

Ia kini berlutut. Aku tahu sayatan itu tidaklah mematikan. Namun cukup untuk melumpuhkan pergerakan tungkainya untuk sementara.

"Maafkan aku Kak, tetapi kau lah yang membuatku memilih langkah ini" ucapku.

Semua orang begitu terhenyak. Tak terkecuali Ratu Hadeline dan Lutfi. Mereka semua terpaku, tidak ada seorang pun yang mencoba mendekatiku. Seakan kaget mengetahuiku berani sekali menyerang Puteri Katerina.

Langsung kulempar asal pedang kotor itu, aku langsung bergegas menghampiri Fauzi. Dan tepat saat aku berhasil merengkuh bahunya, badannya ambruk di pangkuanku. Dengan tergesa-gesa, kulingkarkan tangannya ke bahuku, membawanya keluar dengan tergopoh-gopoh.

Amarah yang tadi begitu merasukiku, kini seakan meleleh dan luntur bersamaan dengan isak tangisku. Tidak henti-hentinya aku menangis sepanjang jalan, begitu mengkhawatirkan keadaan Fauzi.

Tidak. Aku tidak boleh berpikir macam-macam. Ia akan baik-baik saja. Ia akan sembuh. Ia akan kembali menjadi Fauzi yang seperti dulu. Pikirku berulang-ulang untuk meyakinkan diri.

Langkahku melambat begitu kami berdua sampai di gerbang klan penjaga kuda. Kulihat Ibu Melinda menatap kami cemas, namun perlahan mundur seperti ketakutan.

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang