[4] Latihan Pertama

3.4K 212 1
                                    

Sebagai petarung kelas C, waktuku di sini lebih banyak dihabiskan untuk berlatih daripada terjun langsung ke medan perang. Maklum saja, kami ini selalu dianggap kurang berpengalaman oleh para klan petarung lainnya.

Apalagi aku, memegang senjata pun tidak pernah. Kecuali jika pisau dapur dapat dihitung sebagai senjata.

Sebenarnya tugas utama semua kelas klan petarung itu sama, menjaga hutan lindung The Castle yang terletak paling luar membentengi seluruh wilayah kerajaan. Di sanalah para penyusup bersenjata dengan kerbau-kerbaunya berusaha menerobos masuk.

Walau baru beberapa hari di sini, aku sudah paham bahwa ancaman penerobos di hutan lindung sangatlah berbahaya. Tak heran, pasukan kelas A sekali pun banyak yang gugur di medan perang.

Aku belum bertanya siapakah pasukan penyusup itu, darimana kah mereka. Mungkin akan kucari tahu sendiri nanti.

Sudah lama sekali para penyusup itu tidak menyerang lagi kata mereka, kurang lebih selama 5 tahun terakhir. Jadi, pasukan The Castle akhir-akhir ini hanya bekerja untuk urusan dalam negeri. Entah itu berhadapan dengan para berandal, preman, pencuri, pembunuh, hanya kendala-kendala 'kecil'. Tidak terlalu berbahaya.

Lagi-lagi aku dapat bernafas sedikit lega.

Saat ini aku sedang berjalan sendirian menyusuri jalan menuju tempat latihan. Walau dengan berat hati melangkah, aku tetap harus latihan hari ini, kalau tidak banyak para penjaga yang akan menggedor-gedor kamar asramaku.

Bukk

"Aduh aduh maaf ibu, saya tidak lihat tadi" karena melamun sepanjang perjalanan menuju lapangan, aku menabrak seorang ibu dengan anaknya.

"Tidak apa-apa nak" seutas senyum terlukis di wajah ibu itu.

"Kamu hendak berlatih? Mau duduk sebentar? Para petarung belum banyak yang berkumpul" tawarnya lagi.

Aku hanya mengangguk. Lagipula, jadwal latihan masih satu jam lagi.

"Nama saya Kirana, petarung kelas C" ucapku memperkenalkan diri.

"Ohhh pantas saja ibu tidak pernah melihatmu, ibu kira kamu ini dari klan yang sama dengan kami. Saya Melinda, dan ini anak saya Dirini, kami dari klan penjaga kuda"

Wanita berumur sekitar 50 tahun dengan rambut yang mulai beruban digelung rapih ini ikut memperkenalkan diri. Ia mengenakan jaket kulit yang terlampir di bahunya, khas para klan penjaga kuda. Wajah keduanya mengingatkanku dengan orang-orang keturunan India. Mata mereka tajam, hidungnya mancung, dan warna kulit yang kecoklatan.

"Kamu berasal dari desa apa?" Tanya Bu Melinda.

"Ohh tidak bu, saya datang dari....dari....um, saya dan teman-teman saya diculik oleh Raja Deandels dan 6 orang lainnya"

"Wah, ternyata kamu salah satu dari mereka. Orang-orang yang tak tahu menahu tentang apa pun, yang dibawa paksa ke sini"

Aku mengangguk setuju menanggapinya.

Mungkin aku bisa menanyakan tentang hal itu pada Bu Melinda.

"Berarti sudah ada orang-orang terdahulu sebelum kami?" Aku semakin penasaran.

"Iya nak, mereka semua kebanyakan berusia remaja, sama sepertimu. Laki-laki mau pun perempuan. Kebanyakkan dari mereka disebar di berbagai klan-klan The Castle. Tetapi setelah beberapa waktu sebagiannya lagi dikirim pulang, desas-desusnya mereka benar-benar stress dibawa paksa ke sini" jelasnya.

Apakah aku harus pura-pura stress terlebih dahulu agar dapat pulang?

"Oh iya, saya mau tanya. Um, sebenarnya penyusup-penyusup di hutan lindung itu...mereka siapa?" kulontarkan pertanyaan lain, teringat akan hal itu.

Bu Melinda sedikit kaget, namun akhirnya tersenyum kecil.

"Dahulu..."

Oh jangan mendongeng tolong.

"Biarkan saya bercerita sedikit"
Sepersekian detik, aku terkejut dengan ucapannya, ia seperti membaca pikiranku.

"Dahulu sekitar 15 tahun yang lalu, Yang Mulia Deandels menikah dengan Ratu Hadeline. Mereka keluarga yang bahagia sampai suatu saat masalah besar terjadi kepada mereka, tidak ada yang tahu masalah apa kah itu,"

"Kamu belum tahu cerita ini?" Tanyanya disela ucapannya.

Aku menggeleng pelan.

"Sampai akhirnya mereka bertengkar hebat, melumpuhkan segala kegiatan di kerajaan The Castle pada saat itu. Akhirnya Ratu Hadeline memilih untuk pergi dan membangun kerajaannya sendiri. Defends Castle. Tidak jauh dari sini, hanya berjarak 500km, itulah sebabnya terkadang mereka masih sering melakukan gencatan senjata"

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya.

Memangnya masalah apa yang membuat mereka bertengkar? Maksudku, saat melihat bangunan-bangunan di kawasan The Castle yang berdiri megah dan kokoh, aku yakin kerajaan ini merupakan kerajaan cukup berjaya pada masanya. Jadi mungkin, masalah yang mereka lalui itu sangat rumit sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah.

"Tetapi sejak kejadian itu pula Sang Raja sering kali berkelana ke dunia manusia biasa. Ia seperti mencari sesuatu."

Mencari sesuatu? Korban baru maksudnya?

"Sudah, sebentar lagi kamu akan latihan. Kamu bisa datang ke ibu lain kali jika membutuhkan bantuan" belum sempat melontarkan pertanyaan lagi, Bu Melinda buru-buru bangkit dan menepuk pundakku ringan.

***

"Kamu beneran menjadi pendamping aku?"

"Iya Kirana, kelas A itu memang acap kali kebagian tugas mendampingi kelas C" ujar Fauzi.

Aku hanya mendecak sebal dan mencubit pinggangnya gemas.

"Kamu pasti sengaja memilih aku untuk didampingi"

"Aduh aduh, aku kan tidak salah apa-apa!" ia mengelus pinggangnya dan berpura-pura kesakitan.

"Lemah! Hahaha" ujarku sambil memeletkan lidah.

Latihan kali ini, kami diajarkan untuk bertarung menggunakan panah. Yah senjata yang kuno, dibandingkan senjata Fauzi dan kawan-kawan yang merupakan senapan laras panjang nan canggih.

Walau begitu, para petarung kelas C lain terlihat sangat serius mengikuti pelatihan. Tidak seperti aku dan Fauzi yang diam-diam saling meledek dan mencubit satu sama lain.

Kali ini adalah percobaan ketiga-ku untuk melesatkan anak panah ke apel yang sudah dipersiapkan sebagai 'korban' latihan kami.

"Pegang busurnya dengan digenggam seperti ini, tangan yang satu ini juga harus lurus"

Suara kecil itu terdengar di telinga kananku. Tiba-tiba Fauzi seakan memelukku dari belakang. Tangan kirinya lurus membantuku memegang busur. Sedangkan tangan kanannya merangkul pundakku lembut.

Melihat air mukanya, sepertinya ia mengajariku dengan serius. Sesekali, pandangan kami bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Entah sudah berapa kali pipiku bersemu merah dibuatnya. Dan sudah pasti pula ia akan tersenyum miring penuh arti saat melihatku salah tingkah.

"Mukamu kok memerah?"

"Eh? Ah tidak kok! Mungkin karena aku kepanasan" jawabku kikuk.

Lagi-lagi ia hanya tersenyum miring penuh arti.

Beberapa kali anak panahku meleset tak tepat sasaran. Namun, pada bercobaan ke-5 anak panahku tepat sasaran membidik apel di seberang sana. Fauzi langsung bertepuk tangan memberikan selamat, tanpa peduli orang lain menatap kami menganggap kami dua anak kecil yang sedang kegirangan. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya.

Tiba-tiba sebuah pengumuman terdengar menghentikan tawaku.

Sebuah pengumuman singkat yang memberitahukan adanya pergerakan yang mencurigakan di hutan lindung bagian Timur. Mengharuskan Fauzi dan beberapa nama yang dipanggil, segera pergi ke sana.

"Aku harus cepat-cepat pergi, nanti akan ada yang menggantikanku kok! Maaf harus meninggalkanmu tiba-tiba" Ia langsung bergegas mengambil ranselnya dan berlari mengikuti petarung-petarung lain.

Ada apa kah ini?

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang