[1] Kunjungan Sekolah

8K 420 2
                                    

Aku mengumpat dalam hati mendapati tas bawaanku jatuh dan isinya berserakan dimana-mana. Kakiku tidak sengaja menginjak tali sepatuku sendiri tadi, aku terlalu terburu-buru saat pagi, sampai-sampai menyimpul tali sepatu pun aku tak sempat. Dengan bersungut kesal, kuambil barang-barangku lalu berlari kembali mengikuti barisan. Aku dan siswa-siswi sekolah yang lainnya berbaris memanjang, mengantri di depan pintu bus.  Satu persatu dari kami menaiki bus pariwisata yang telah parkir di bahu jalan sejak 20 menit yang lalu.

Hari ini hari Minggu. Seharusnya sudah menjadi agendaku untuk bermalas-malasan. Entah itu menonton serial tv, membaca buku, atau sekedar tidur-tiduran sampai sore. Pokoknya bermalas-malasan, bukannya pergi ke sekolah pagi-pagi seperti ini.

Namun sialnya, hari ini sekolahku mengadakan acara kunjungan ke universitas terkenal di kota kami. Universitas Tiga Negeri. Entahlah, sepertinya sekolahku sedang mengadakan kerja sama dengan universitas itu.

Hampir semua siswa kelas tiga di SMA-ku mendambakan dirinya dapat menempuh jalur pendidikan di universitas ini. Mungkin karena masih dalam lingkup kota sendiri sehingga mudah untuk mendapatkan jalur undangan. Tetapi intinya, berbeda denganku mereka semua terlihat bersemangat mengikuti acara kunjungan ini.

Setelah 15 menit perjalanan menggunakan bus, akhirnya rombongan kami sampai di tempat tujuan. Aku langsung buru-buru keluar dan menghela napas panjang. Udara dalam bus yang sedikit pengap dan berbau mesin mulai perlahan menghilang dari indra penciumanku. Melihat gerombolan siswa-siswi seperti bebek yang mengekor dipimpin oleh beberapa guru sebagai induk bebeknya, membuatku semakin malas. Kurasa kunjungan sekolah ini akan menjadi kegiatan yang sangat membosankan.

Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Pepohonan besar dengan cabang-cabangnya yang diselimuti dedaunan rindang seakan menghiasi hampir setiap sudut kampus ini. Sebuah kolam ikan besar di tengah lapangan langsung menarik perhatianku. Kursi-kursi kayu tertata melingkar di sekelilingnya, serta suara gemericik air yang menenangkan, membuatku setidaknya sedikit bersemangat dan ingin segera menghampiri tempat itu untuk berlama-lama duduk di sana.
Namun, rombongan kami terus berjalan mengurungkan niatku untung menghampiri kolam ikan itu.

Aku, Faras, dan Tia membentuk kelompok kecil kami sendiri untuk sekedar berjalan-jalan.

"Aku ingin kuliah di sini" gumam Tia.

"Hampir semua orang pasti akan bilang seperti itu. Tapi setauku, tes masuk ke sini itu susah sekali" ujar Faras.

"Aku tidak tertarik, sepertinya aku mau melanjutkan pendidikan keluar kota aja. Bosan aku di sini terus sejak lahir" ujarku sambil terkekeh.

"Terserah kamu, kamu memang tidak pernah bersemangat dalam hal apa pun, Kirana" celetuk Faras.

Saat asyik berbincang tiba-tiba langkah kami terhenti. Sekumpulan orang berjalan menghalangi kami bertiga, satu-dua-7 orang lebih tepatnya menghampiri kami dengan tatapan serius. Tia berbisik kecil, bertanya padaku siapa mereka, hanya kujawab dengan sebuah gelengan singkat.

Gerombolan itu berisikan lelaki yang hampir setengahnya berumur paruh baya. Mereka semua memakai pakaian senada, dengan mantel tipis berwarna hitam yang menjuntai hingga mata kaki. Mereka berpakaian gelap-gelap dan hampir tertutup, sangat aneh untuk digunakan di cuaca kota kami yang lumayan panas di siang hari.

"Nama kalian siapa?" ujar seseorang di barisan paling depan.

Eh? Apa-apaan ini? Kami tidak membuat kegaduhan atau masalah dari tadi? Atau jangan-jangan mereka ini pemandu khusus? Tetapi pemandu seperti apa sampai sebanyak ini?

Aku menoleh ke belakang, mendapati rombongan sekolah kami sudah tidak berada di sana. Padahal aku ingat persis, 3 menit yang lalu sebagian dari mereka masih berdiri di sekitar kami.

7 orang itu sekarang berdiri di hadapan kami. Sesaat setelah itu, entah mengapa suasana di sekitar kami mendadak sepi. Seakan orang-orang yang sedari tadi berada di sekeliling kami lenyap begitu saja.

"Tia..." jawab Tia, membuyarkan semua pertanyaan-pertanyaanku.

Tia dengan mudahnya memperkenalkan diri, memberitahukan namanya pada 7 orang asing ini. Membuatku melongok kaget dan mencengkeram lengannya

"Saya Faras" Susul Faras.

Mereka ini sebenarnya sedang dihipnotis atau apa, aku semakin bingung.

"Saya tidak mau memberitahukan nama saya" ucapku pungkas.

"Kalian ini kenapa aneh sekali?" Tanyaku setengah berbisik pada Tia dan Faras.

Seseorang yang menanyakan nama kami itu lalu seperti berbisik dengan orang di sebelahnya, mungkin ia tangan kanan si orang tadi, entahlah. Setelah berbisik, tangan kanan itu segera mengangguk dan membisikkan sesuatu ke orang di belakangnya. Mereka berestafet bisik di depan kami, membuatku benar-benar bingung setengah mati.

"Kalian ikut kami" pinta seseorang di hadapan Tia.

***

Mereka mengantarkan kami ke mini hall kampus ini. Kami bertiga duduk berderet menghadap mereka yang berdiri berbaris dengan rapih. Seakan-akan kami ini sekelompok anak badung yang sebentar lagi akan menerima hukuman berat dari mereka.

Tidak seharusnya kami mengikuti mereka dari awal, tetapi bagai dihipnotis kami hanya mengangguk menurut dan berakhir di tempat ini.

Sekali lagi, seakan terhipnotis, kami bertiga hanya mangut-mangut menyimak cerita yang disampaikan orang yang berdiri di paling depan sejak awal tadi. Sepertinya ia ketua kelompok atau semacamnya. Sebelum terlalu larut dalam ceritanya, dahiku mengerenyit mendapati apa yang ia sampaikan makin lama semakin aneh. Ia mulai menceritakan sebuah negeri, yang katanya adalah tempat di mana ia berasal.

"Aku ingin mengajak kalian ke sana, itu tujuanku meminta kalian ke sini" ujarnya menutup cerita.

"Apa? Ke negeri apa itu, antah berantah yang kalian ceritakan?" aku langsung menggrebak meja di depanku.

"Bagaimana dengan sekolah kami, keluarga, serta kehidupan kami di sini?" sahut Tia.

"Tenang saja, kami akan meramalkan mantra penghilang memori. Kalian akan dianggap tidak ada sampai kalian kembali lagi ke sini"

"Mantra? Mantra apa? Jadi selama ini kalian semua sekumpulan dukun?" Tanya Tia.

Kami benar-benar harus meninggalkan tempat ini sesegera mungkin. Semuanya sudah mulai tidak masuk akal.

"Kalian percaya saja pada kami"

Orang-orang itu kembali menatap kami lamat-lamat. Tanpa sadar, aku menahan napasku. Perasaan takut dan penasaran semakin menjalar di pikiranku. Jangan-jangan, aku ini sedang bermimpi. Bisa saja saat ini aku sedang ketiduran di kasurku dan akan bangun dengan perasaan pusing yang luar biasa.

Baru sejam yang lalu aku menginjakkan kaki di universitas ini, mengira bahwa karya wisata dadakan ini akan begitu membosankan. Namun, tiba-tiba segerombolan orang aneh ini mendongeng tentang negeri antah berantah dan menyuruh kami ke sana. Ini benar-benar di luar dugaanku.

"Percaya pada kami, kalian harus pergi ke sana. Mereka semua membutuhkan kalian"

"Tetapi..kenapa harus kami?" tanyaku lagi.

"Kalian akan mendapatkan jawaban itu nanti saat di sana," jawab seorang kakek tua yang duduk di paling ujung.

"Aku tidak mau. Jangan percaya kepada orang-orang ini, Ti, Far. Cepat, kita akan kembali kepada rombongan kita dan melaporkan orang-orang aneh ini" sergahku.

Dengan bergegas, aku bangkit dari kursi dan mengambil tasku. Saat sedang berbalik hendak meninggalkan ruangan, seseorang mencekal lenganku.

Ia menarik lenganku hingga tubuhku berbalik menghadap orang itu. Pandanganku langsung tertuju pada bola matanya yang terang. Berputar-putar semakin terang.

I know ini gaje tapi tetep stay tune ya he he he, di mimpinya gitu T_T

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang