[13] Kehilangan

1.7K 137 7
                                    

Ibu Melinda memintaku untuk tetap tinggal di kerajaan utama, seperti seharusnya. Namun, karena aku tidak enak dengan Faras dan Tia maka aku meminta kepada Raja Deandels untuk menyiapkan dua kamar kosong untuk mereka.

Sebenarnya aku sedikit berbohong, mengatakan kepada mereka aku ini hanya diundang Raja Deandels untuk menginap. Sebagai balas budi karena telah menculik kami beberapa bulan yang lalu.

Untung saja mereka mempercayai hal itu.

"Ki...lo ditunggu tuh sama Fauzi di labirin biasa katanya," ujar Faras memberitahuku.

"Wah iya???" mataku berbinar-binar saat mengetahui ia akan menemuiku sekarang.

"Ya kali gue bohong, dah sana cepet" jawabnya sambil tersenyum ke arahku.

Aku langsung mengangguk cepat dan beranjak keluar. Aku berjalan riang dan berjingkrak-jingkrak menuju labirin. Sudah berapa minggu ya aku tidak bertemu dengan Fauzi? 3 minggu mungkin. Entahlah, intinya aku sangat senang bisa menemuinya.

Kerlingan mataku terlihat berbinar-binar saat berjalan. Mataku semakin membulat sempurna saat kulihat Fauzi berdiri di pintu masuk labirin.

"Fauzi!!" sapaku sambil melambai-lambai ke arahnya.

"Hai Ki!" ia balas tersenyum.

Aku berlari kecil menghampirinya, ia menyambutku hangat dan tersenyum senang.

"Duh, aku seneng banget bisa ketemu lagi sama kamu. Kangennnn banget rasanya" ocehku sambil merangkul lengannya.

"Sama Ki, aku juga kangen.."

"Duduk situ yuk?" Fauzi menunjuk sebuah kursi kayu panjang di depan kami.

Aku mengangguk, kami pun duduk di kursi kayu itu. Senyum ceria masih saja terulas di bibirku. Aku menghirup napas dalam-dalam, membiarkan semilir angin menyapu anak rambutku pelan. Membiarkan antmosfer ini terus melingkupi kami.

"Ki, aku mau ngomong sesuatu"

Ngomong...apa?

"Mau ngomong apa?" tanyaku sambil menopang dagu.

"Maaf ya..kalo..misalnya ini nyakitin kamu,"

Deg. Aku harap-harap cemas, air mukaku langsung berubah sepersekian detik. Aku tidak mengucapkan apa pun, hanya mengangguk singkat menunggunya untuk berbicara.

"Aku diterima jadi ketua pasukan petarung di wilayah Barat" ucap Fauzi datar.

"Wahh?? Iya?? Kapan diterimanya?" ucapku pura-pura bahagia mendengarnya.

"Selamat ya sayang!" aku tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang muncul dalam benakku.

"Kemarin, aku udah urus semuanya kok"

"Wih! Keren-keren!"

Ia tersenyum memaksa, dan menghembuskan napasnya dengan berat

"Kita putus aja ya Ki?"

Buyar.

Rasa sesak langsung muncul, membuat getir pahit menyeruak di kerongkonganku. Pandanganku buram, terhalang bendungan air mata di ujung mataku. Ku gigit bibirku bawahku dengan keras, berusaha sebisa mungkin menahan sakit yang entah mengapa menjalar begitu cepat meracuniku.

Aku menunduk lesu, buku-buku jariku memutih mencengkram ujung bajuku dengan kuat.

Semua ini terlalu cepat. Bahkan sangat jauh dari ekspetasiku, bahwa ia akan meninggalkanku secepat ini. Mengetahui hal ini, membuat semua organ tubuhku terasa jatuh ke perut. Nyeri yang sulit dideskripsikan.

Pertahanan yang sedari tadi aku usahakan nyatanya runtuh juga. Bendungan air mata mulai menetes dari pelupuk mataku. Bergulir membasahi pipiku dan jatuh berderai.

"Sakit,"

Walau rasanya ada ribuan kata yang muncul di kepalaku, yang ingin aku utarakan padanya, nyatanya yang keluar dari mulutku hanya itu.

Sakit.

Setelah semua hal yang aku korbankan untuknya, kepercayaan yang susah-susah kubangun untuknya kini seakan runtuh dalam sekian detik. Seakan usahaku, tidak ada artinya lagi sekarang. Seakan semua yang aku lakukan untuknya tidaklah cukup untuk membuatnya tetap tinggal bersamaku.

Mungkin memang aku lah yang berharap terlalu banyak. Percaya dengan begitu saja. Dan begitu mencintainya dengan sungguh-sungguh. Menyayanginya dengan sepenuh hati. Seharusnya aku tidak mengharapkan ia akan tinggal, dan terus menemaniku.

"Aku mohon jangan nangis, Ki"

Bajingan. Keparat. Brengsek.

Jangan nangis katamu? Setelah semua ucapan manis dan janji yang selalu aku telan bulat-bulat dan kupegang dengan yakin? Rasanya semua itu telah hancur berkeping-keping. Menyisakan rasa kecewa yang dalam, berbekas sampai ke ulu hati.

Ia bahkan tidak berusaha menenangkanku. Tangisku semakin keras, bahuku bergerak naik-turun. Rasa sesak itu semakin menjalar, semakin membuat kerongkonganku tercekat.

"Jangan tinggalin aku, Zi.."

Bodoh. Bahkan sesakit apa pun perasaanku sekarang, aku masih tetap menginginkannya untuk tetap tinggal bersamaku. Tidak ada rasa benci sedikit pun, bahkan setelah semua pengkhianatan yang telah ia lakukan. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah, aku ingin terus tinggal dengannya.

Iya.

Aku masih menginginkannya.

"Aku minta maaf banget Ki.."

Maaf lagi. Maaf lagi. Maaf lagi.

"Mungkin memang aku yang salah, aku tahu aku yang salah sejak awal. Tapi, aku gak mau hubungan kita semakin gak jelas arahnya gimana."

"Aku bakal ga ketemu kamu bahkan berbulan-bulan, atau bisa saja tidak kembali lagi dari medan perang."

Aku tidak terlalu menghiraukan alasannya. Menurutku semuanya tidak masuk akal, dengan ucapannya yang dulu begitu meyakinkan jika ia memang benar-benar akan memperjuangkanku.

Rasanya aku ingin berlari sejauh mungkin, secepat mungkin menghidari kenyataan.

"Aku janji aku gak akan ninggalin kamu" ujarnya.

"Janji ya?" ucapku sambil mengacungkan kelingkingku.

"Janji" jawabnya sambil menautkan kelingkingnya.

A.n

Fyi aja
Author nulisnya baper banget. Karena emang based on real life.
Hiyahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahah.
Yha emang cuma segini aja partnya.
This part was dedicated to my beloved one :) hello there if you read it!

Ps: i miss you

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang