[14] Kelabu

1.7K 141 11
                                    

"Kirana, kamu kenapa?"

Tanya Lutfi saat menemukanku menangis di halaman belakang kerajaan. Dan semenjak identitasnya diketahui olehku, yaitu seorang pangeran, ia kembali memanggilku dengan aku-kamu. Menjaga attitude katanya.

"Aku gapapa"

"Boong"

"Memang boong"

"2 minggu kamu murung terus, sekarang kamu bilang kamu gapapa?" tanyanya heran.

"Aku cuma mau kasih tau kamu. Aku ada di sini Na, aku peduli sama kamu, dan aku mau kamu ceritain semua hal yang bikin kamu sedih." ucapnya sambil mengusap kepalaku pelan.

Aku menunduk, membiarkan sejenak diriku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Aku bahkan udah gak percaya lagi sama semua orang Fi, semua orang itu sama aja, pembohong, pengkhianat, dan semuanya akan memilih untuk ninggalin aku suatu hari nanti," aku berusaha untuk berbicara dengannya.

"Semua orang memang bakalan pergi ninggalin kita Na" ia terdiam sejenak.

"Tapi bukan itu yang seharusnya kita pikirkan. Justru waktu-waktu saat mereka masih ada lah yang perlu kita pikirkan. Kadang kita terlalu sibuk memikirkan perpisahan, sehingga melupakan kehadiran orang itu sendiri untuk saat ini,"

"Dan jangan sampe kamu baru menyesal, kalo mereka udah pergi Na" lanjutnya lagi.

"Untuk apa aku menghargai kehadiran orang lain, yang bahkan menganggap kehadiran aku di hidupnya itu cuma sebagai parasit?" rasa sesak itu kembali muncul, membuatku kembali teringat dengan Fauzi.

Aku kembali menangis. Tidak peduli lagi dengan bendungan air mata yang kutahan sejak Lutfi datang. Pikiranku selalu buyar mengingat kenangan pahit itu.

"Terkadang aku pengen bangun, dan sadar kalo semua ini cuma mimpi Fi,"

"Tell me, i was dreaming, right? Tanyaku lirih.

Ia menatapku sejenak, sedikit terdiam mendengar pertanyaanku tadi.

"Aku.. Jujur aja gak bisa liat kamu nangis gini, sedangkan aku gak tau harus kayak gimana Na," ucapnya lesu.

"Kamu tahu kan seberapa pedulinya aku sama kamu. Aku selalu berusaha ngelindungin kamu dan muncul tiba-tiba di saat kamu butuh,"

Ya, mengingat kemampuan khususnya untuk muncul di suatu tempat secara tiba-tiba, tidak heran ayahku--Raja Deandels, memintanya untuk mengawasiku hampir setiap hari. Itu yang Lutfi katakan beberapa hari yang lalu.

"Kamu sedih karena apa?" tanyanya lagi.

"Ini tentang Fauzi ya?" ia menoleh ke arahku.

"Iya, dia mutusin aku 2 minggu yang lalu."

"Dan aku gak pernah ngerasain sakit, yang sedalam ini sebelumnya Fi"

"Dengerin aku Na. Kamu itu lebih dari yang kamu kira, and believe me you'll gonna be fine without him" ia menatapku lekat-lekat, sinar matanya seakan menghangat menatap ke arahku.

"Tapi tetep aja aku merasa...kayak sampah Fi. Dia bahkan dengan mudah campakkin aku, tapi aku masih sayang sama dia! Kamu bayangin gak?" aku masih terus mengelak di sela tangisanku.

"Bayangin kok, sakit memang. Tetapi lebih sakit lagi bertahan dengan orang yang salah Na"

Deg.

Perkataannya itu seakan sukses menohokku. Membuat pikiranku seakan beku, menelan semua kata demi kata yang keluar dari mulutnya.

"You deserve someone better" ucapnya lagi dengan yakin.

Aku berusaha menghapus air mata di sudut mataku. Kepalaku terangguk kecil. Bisa kulihat secercah senyum kembali terbit di wajah Lutfi. Tak kusangka ia memelukku hangat.

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang