[11] Lutfi, Aku, dan Katerina

2K 145 3
                                    

"Dek, duh..jangan ngelamun aja saya jadi bingung ngajarnya,"

"Ohh iya maaf kak! Aduh maaf!" aku tersentak dan gelagapan sendiri menjawabnya.

Sudah ketiga kalinya seorang petarung dari kelas A menegurku karena aku selalu melamun saat sedang latihan. Dia pendamping baruku sekarang. Kak Ilham. Salah satu teman Fauzi juga.

Sebenarnya sudah dua minggu aku tidak lagi didampingi oleh Fauzi. Selama itu pula aku belum melihatnya lagi. Sibuk. Sibuk. Sibuk. Jelasnya. Jadi, aku selalu menghabiskan hari-hariku bersama Tia dan Faras.

Dan sebenarnya pula, hal yang aku lamunkan dari tadi salah satunya mengenai mimpiku 2 minggu yang lalu. Mimpiku saat pingsan setelah dikepung oleh Puteri Katerina dan pasukan-pasukannya. Entah mengapa mimpi itu terasa begitu jelas dan masih terngiang di benakku sampai sekarang.

Membuatku selalu bertanya-tanya. Apa sebenarnya maksud dari mimpiku waktu itu?

"Yak, udah jamnya makan siang. Kita ketemu lagi besok ya, jangan lupa jam 1 siang dan saya gamau kamu ngelamun lagi kayak tadi" ujar Kak Ilham.

"Oh iya kak! Saya janji!" ucapku sambil membereskan peralatan panah, dan berlari kecil meninggalkan lapangan utama.

Aku mulai berjalan santai saat sudah berada di sekitar basecamp. Pikiran lain yang sedari tadi terus kutahan, lama kelamaan semakin memuncak di kepalaku.

Aku kangen sama Fauzi.

Ya. Mungkin itu kalimat singkat, padat, dan tepat akurat yang menggambarkan semua hal yang sedang aku rasakan akhir-akhir ini.

Aku kangen dengan suaranya. Suara gelak tawanya yang selalu bisa membuat hari-hariku terasa begitu menyenangkan.

Begitu pula candaan yang selalu ia lemparkan. Serta tutur manisnya. Matanya yang menatapku begitu lekat. Semuanya. Aku kangen semua hal tentang dia.

Tapi mau bagaimana lagi?

Anggapan bahwa hanya akulah satu-satunya orang yang mengemis waktunya, merasa tidak penting keberadaannya, dan menjadi parasit kehidupan untuk Fauzi sempat melayang-layang dalam benakku.

Tetapi, setiap kali ia meluangkan sedikit waktunya untuk menemaniku, langsung cepat-cepat kutepis pemikiran itu. Serta perlakuan manisnya yang selalu saja membuat pipiku panas dan bersemu merah, membuatku yakin bahwa aku merupakan orang yang spesial juga untuknya.

Dan karena hal-hal kecil itu pula aku memilih untuk tetap bertahan.

"Psstt.....heh heh"

Aku mendelik, memutar kepalaku ke kanan- ke kiri untuk mencari suara seseorang yang seakan memanggilku.

"Psst woy elo iya elo!"

"Lo?" ucapku dengan nada bertanya.

"Bukan gue, tapi lo...."

"Iya...lo kan?"

"Ini gue Lutfi!"

Bukannya beranjak mendekati sumber suara, aku malah menutupi mulutku berusaha menahan tawa. Aku terkikik kecil tertahan. Anak itu. Kenapa sih tingkahnya itu selalu lucu saat sedang bersamaku?

"Manggilnya kayak apaan aja deh, bisik-bisik trus manggilnya 'lo' doang lagi hahahah" ucapku sambil mendekatinya.

"Yah kan katanya kita udah mulai manggil lo-gue..."

"Kenapa malah mau aja?" tanyaku sambil terkikik geli.

"Biar lo seneng," jawabnya sambil tersenyum singkat.

What kind of sweet boy he is.

Eh?

Duh. Aku ini ngomong apa?

The CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang