"Mau sampai kapan kau berada di dalam sana?" Ketukan di jendela mobil menyadarkan ku. Aku segera menyelesaikan urusanku dengan lipstik nya dan bergegas keluar.

Raga menyambut ku dengan uluran tangan, menggenggam tanganku dengan erat. Sepanjang jalan masuk ke dalam hotel, aku sama sekali tidak mengalihkan pandanganku dari tangan nya pada tanganku. Sebagai balasan, aku membalas nya dengan erat yang serupa. Bibirku tersenyum tipis. Hangat dan nyaman. Hanya dengan seperti ini, aku bahkan bisa merasakan perlindungan dari dirinya. Apa yang bisa kulakukan ketika hatiku menghangat sekarang. Rasa cintaku bertambah sekian persen.

Saat kami masuk beberapa orang yang aku kira sebagai kliennya datang menyambut dan mengucapkan selamat. Ternyata pesta ini tidak hanya untuk memperingati ulang tahun perusahaan. Tapi juga untuk merayakan atas pencapaian perusahaan pada tahun ini yang begitu tinggi. Juga untuk perayaan karena perusahaannya berhasil mengambil alih beberapa perusahaan besar lainnya, mengubah nama pemiliknya menjadi dirinya.

Aku tidak terlalu tertarik dengan obrolan bisnis yang mereka bicarakan. Pesta sudah berjalan hampir dua jam, dan kakimu sudah mulai terasa kebas karena hills yang cukup tinggi ku gunakan.

Sementara Raga sibuk menjamu tamu yang datang dan mengobrol basa-basi dengan mereka. Aku memilih sedikit menyingkir, setelah mendapat persetujuannya tentu saja. Memperhatikannya dari jauh, tak jarang aku menatap cemburu jika klien wanita muda yang datang memberi selamat dengan sedikit ciuman di pipi. Apakah itu harus? Lagipula, kenapa pria itu bahkan tidak terlihat terganggu? Aku benar-benar muak melihatnya.

"Jadi, dia suami mu?" Aku menoleh kaget ketika suara berat dan dalam menyapa indera pendengaran ku.

"Ian!" seruku.

Pria itu tersenyum, menyesap minuman berwarna merah dari gelas yang di pegangnya lalu mengendikkan nya ke arahku. "Jadi, dia suamimu?"

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku melirik ke arah Raga yang masih bercengkrama dengan rekan-rekannya, pria itu bahkan tidak melihat ke arahnya.

"Menghadiri pesta?" jawabnya.

"Kau rekan kerjanya?"

"Tidak, aku menemani temanku," Ian menunjuk salah satu wanita yang berada tak jauh darinya. Wanita yang juga tengah bercengkrama dengan Raga.

Aku mengangguk mengerti.

"Jadi, apa yang kau lakukan sendirian di sini? Kau tidak terlibat sebagai istrinya. Aku bahkan tidak akan tahu jika temanku tidak memberi tahu sebelumnya."

Aku melirik sekilas ke arah Raga. Jujur aku malu sekali karena tertangkap basah diriku di abaikan oleh suamiku sendiri. "Aku hanya merasa bosan. Pembicaraan mereka tidak terlalu menarik," aku memberi alasan.

Ian tergelak pelan membuatku mengernyit. Oh, sudah pasti dia menertawakan kemalanganku.

"Kau tidak cemburu melihat suamimu di dekati banyak wanita?" Siapa yang suka melihat suaminya lebih banyak menghabiskan waktu dengan wanita lain? "Seharusnya kau di sana, tunjukan jika kau adalah istrinya. Bukan berdiri di sini dengan tatapan kesal dan cemburu." Aku mendelik kesal sebagai tanggapanku atas ucapannya.

Apa tatapan cemburuku begitu ketara?

Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya takut balasan yang akan aku terima jika tiba-tiba aku lancang menjadi istri yang posesif.

"Ikut aku, ku yakin kau tidak akan nyaman berada di sini lama-lama, bukan??" Ian meraih tanganku dan mengiringku keluar dari dalam hotel membawaku ke sayap kiri hotel ini.

Angin malam yang berhembus langsung membelai kulitku saat kami berdiri di balkon menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan.

"Kau cantik malam ini," ucapnya.

Aku menoleh dan tersenyum. "Hm, terima kasih."

"Pria macam apa yang membiarkan wanita secantik dirimu berdiri seorang diri?"

Aku tertawa pelan mendengar sindirannya. Tanganku menggenggam erat besi pembatas, sedang mataku menatap jauh gelapnya langit malam.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya?

Aku menoleh ke arahnya. "Dengan melihat dia bersama wanita-wanita itu? Ya," aku mengangguk. "Mereka hanya rekan bisnis."

"Ceritakan bagaimana kau bisa mengenalnya?" Aku sedikit terkejut di tembak pertanyaan tidak terduga. Bagaimana aku menjelaskannya?

Bagaimana aku memberitahunya jika aku adalah jaminan dari hutang perusahaan.

Aku hendak mengeluarkan suaraku ketika seseorang di belakang berdeham.

Ketika aku memutar tubuhku, aku terlonjak. Dia sudah berada di sana, berdiri dengan tatapan dingin dan mengintimidasi.

Aku mengalihkan pandanganku pada Ian yang terlihat santai yang bahkan masih sempat memasang senyum samar di bibirnya, ia bahkan menganggukan kepalanya sopan.

"Sedang apa kau di sini?"

"Oh, Ra... Raga aku hanya sedikit panas di dalam," jawabku tak masuk akal.

"Bukankah aku sudah bilang, kau sebaiknya tunggu di dalam! Bukankah aku sudah memperingati kamu tentang hal ini?"

Aku menatap Ian yang memberiku tatapan sebuah pertanyaan.

"Raga, dia temanku..."

"Aku tidak peduli," sela nya. Ia menarik tanganku dengan sedikit kasar. "Jangan membuatku malu!" Dia menyeret ku masuk kedalam hotel.

Aku sempat menoleh ke arah Ian dan memberikan tatapan permohonan maaf.

Raga mengetatkan pegangannya membuatku sedikit meringis karena sakit saat dia tidak lagi menarik ku.

Dia bahkan tidak memperdulikan sapaan dari rekan-rekannya ketika melintasi mereka.

"Satrya, tolong handle semua acara malam ini. Aku harus pulang," ujarmya dingin pada pria yang memakai pakaian rapi yanh sejak tadi berada di sisinya, menemaninya berbincang dengan beberapa orang.

Ia bahkan tidak repot-repot mendengar jawaban lawan bicaranya. Dirinya hanya terus menarik ku ke luar hingga kami tiba di mobil. Ia membuka pintu mobil dan mendorongku kasar ke dalam mobil. Apa yang akan terjadi sekarang? Aku yakin ia sangat marah sekarang.

Bagaimana aku bisa lupa, Ian adalah pria yang ia curigai sebagai selingkuhan ku.

Mati aku.

***

My Devil HusbandWhere stories live. Discover now