[7] Ambisi Petarung

Start from the beginning
                                    

Semua prajurit-prajurit The Castle berbaris rapih. Di bagian kanan ada para pemegang pedang, mereka adalah pasukan yang dikhususkan untuk pertarungan jarak dekat. Lalu ada para penembak untuk pertarungan dari jarak jauh. Serta pasukanku, para pemanah yang bertugas untuk melemahkan pergerakan musuh.

Saat ini kami sedang berjaga-jaga di hutan. Pakaian seragamku yang biasanya berwarna coklat muda kini berganti dengan pakaian khusus.

Aku mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hijau yang dibalut dengan rompi hijau tua dari kulit kuda. Ikat pinggang juga terlampir di pinggangku, lengkap dengan tas panjang berisi anak panah beragam jenis. Rambut panjang yang selalu kugerai juga kini kuikat setengah.

Sambil berkamuflase dibalik tumbuhan liar, aku mengawasi sekitarku dengan jeli. Busur dan anak panah sudah kugenggam dengan kuat. Berjaga-jaga jika tiba-tiba saja ada musuh yang lewat di sekitarku.

"Attack mode!"

"ATTACK MODEE!!"

Suara itu berseru dan terdengar bersahut-sahutan. Attack mode. Mode yang kami gunakan saat sudah melihat kelemahan lawan dan memilih maju untuk menyerang duluan.

Aku langsung berdiri dan mengikuti barisan pemanah lainnya. Kami berada di barisan samping, membantu para penembak jitu untuk melumpuhkan musuhnya.

Saat melihat musuh yang sebagiannya mengenakan pakaian serba hitam dan menunggangi kerbau, dengan sigap kuacungkan busur panjang dari kayu mahoniku ke depan. Sambil menyipitkan mata, setelah targetku sudah terkunci, langsung kulesatkan anak panah bermata lancip ke arahnya.

Anak panah yang kulesatkan menancap di bahu targetku, cukup untuk membuat fokusnya terpecah. Dan...seseorang di depannya dapat dengan mudah menembak.

Semakin lama, musuh-musuh berdatangan semakin banyak. Deru tapak kaki yang dihasilkan oleh kerbau-kerbau itu juga terdengar beredentum-dentum. Tak henti-hentinya kulesatkan anak panahku. Begitu juga dengan para petarung lainnya yang terlihat awas namun cekatan melawan musuh.

Saat melihat seorang musuh ambruk karena sebuah tembakan, aku menelusuri dari mana arah tembakan itu.

Dan disitulah Fauzi. Berdiri di ujung sana, memegang senapan panjangnya dengan fokus yang luar biasa hebat. Sungguh, melihatnya seperti ini sangat membuatku terkagum-kagum.

Ia masih saja membidikkan peluru mematikan itu tanpa ampun. Permainannya mulus, ia sangat ahli dalam pertarungan jarak jauh. Dia....memang pantas untuk mengikuti tes pemilihan ketua itu.

"KIRANA! MENUNDUK!!"

Sebuah suara terdengar meneriakkanku. Setelah sekian detik aku menunduk, terdengar suara bidikkan yang tajam di atas kepalaku. Bersamaan dengan itu pula, seorang lawan langsung ambruk di belakangku.

Fauzi. Ia yang telah menembak musuh itu.

Aku terkesiap kaget. Meringis saat melihat darah segar mulai mengalir keluar dari jantungnya, yang tepat sasaran oleh bidikkan Fauzi.

***

Seusai petarungan, kami kembali ke basecamp. Aku langsung menuju kamar, berniat untuk istirahat panjang dari kegiatan gila yang baru saja aku lakukan.

Saat membuka pintu kamar, aku mendapati Tia dan Faras duduk di sisi kasur. Mereka melihatku sekilas. Membuatku bertingkah canggung saat menutup pintu.

"Eh...gue..mau ngomong sesuatu" ucapku takut-takut.

"Apa" jawab Faras ketus.

"Masalah yang kemarin lagi?" tanya ia lagi.

Aku mengangguk cepat.

"Gue gak ngambil remote itu, serius. Kalau pun gue ngambil, gue bisa balikin sekarang. Nyatanya gue aja gak tau benda itu ilang kemana"

"Dan kemarin gue sama seseorang pergi ke kastil, buat mintain remote itu lagi ke Raja Deandels,"

"Fauzi?" tanya Tia keluar dari topik pembicaraan.

"Bukan, namanya Lutfi, anak buruh" jawabku singkat.

"Dan hasilnya nihil. Raja Deandels gamau ngasih benda itu lagi ke gue,"

"Gue minta maaf banget, sama sikap gue yang justru balik marah ke kalian kemarin" ucapku final.

Keheningan seketika menyelimuti kami bertiga. Aku menunduk. Meyakinkan diri bahwa mereka masih mau memaafkanku.

"Gue juga minta maaf Ki, udah nuduh lo yang enggak-enggak" ucap Tia.

Aku menengok ke arahnya, melihat senyum singkat yang terulas di wajahnya.

"Gue..gue juga" ucap Faras.

"Gue jujur takut banget kehilangan kalian" ucapku sambil kembali menunduk.

"Jangan kayak gitu lagi ya Far, Ki, gue gak punya siapa-siapa lagi di sini.." Tia mengelus pundakku pelan.

"Tapi kalian harus janji, mau gimana pun kita tetep harus nemuin jalan pulang, oke?" ujar Faras yakin.

The CastleWhere stories live. Discover now