[18] DISANDERA (2)

3.5K 270 5
                                    

"Kaget ya liat gue di sini?" si laki- laki misterius-Thomas, menjawab Nathan.

"Lo mau apain Jean hah?!" Nathan membentak dengan suara yang lantang.

"Ha ha ha. Oke, tenang, tenang. Gue gak apa- apain Jean kok. Panik banget. Lagian gue juga cuman ikutin perintah kok." Thomas tersenyum miring.

"Jadi bukan elo dalangnya? Trus siapa?" Nathan mencoba untuk berdiri dari posisi terlungkupnya.

"Mau gue kasih tau?" Thomas menaikkan satu alisnya. "Tapi sayangnya.....gak dibolehin tuh." Thomas menghampiri Nathan yang kini sudah berdiri dengan tegap. "Tangkep nih makhluk." Thomas menjetikkan jarinya, lalu berjalan pergi meninggalkan Nathan yang siap dimangsa oleh anak buahnya.

Nathan sudah menyiapkan kuda- kudanya dan siap menyerang kelima belas manusia- manusia itu yang umurnya berbeda jauh dengan Nathan. Perkelahian pun dimulai. Para lelaki dewasa ini ternyata tak gampang untuk dijatuhkan, walaupun Nathan sebenarnya sudah sampe sabuk cokelat. Setelah udah tendang sana- sini dan itu pada manusia udah terbang gak tau kemana aja, akhirnya tersisa 5 orang yang masih bertahan.

"Emm!! Emm!!" Jean mencoba untuk menjerit untuk memperingatkan bahwa ada bahaya yang mendekati Nathan dari belakang, tetapi ia tidak bisa karena mulutnya yang tertutup. Ia mencoba untuk melarikan diri, tetapi ia terikat. BUAK! Sebuah tonjokkan melayang tepat di wajah Nathan. Mata Jean membulat sempurna ketika melihat hal itu terjadi tepat di hadapannya, dan ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

Bruk! Nathan terjatuh dengan ujung bibirnya yang berdarah di hadapan Jean yang masih memakai seragam sekolah. Nathan mengelap bibirnya, dan ia mendapati ada setetes darah segar di telapak tangannya. Kelemahan Nathan-ia tak dapat melihat darah, alias ia memiliki phobia dengan yang namanya 'darah' (Hemophobia). Seketika, sekujur tubuhnya lemas, kaki tangannya menjadi dingin, wajahnya berubah pucat, dan keringatnya bercucuran.

BRAK! Pintu kayu tua yang berat itu didobrak oleh seorang laki- laki. "Jean!" Laki- laki tersebut menghampiri Jean dan membuka lakban yang menempel pada mulutnya. "David!" Jean menatap laki- laki itu-David, dengan wajah yang ketakutan. BUK! Sebuah tendangan mendarat di perut Nathan yang sudah tak berdaya. "AAAKH!" Jean berteriak. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi.

Jean paling anti sama yang namanya berkelahi, berantem, yang sampe tendang- tendangan, tonjok- tonjokkan dan sebagainya. Kalau dia udah melihat yang begituan, tubuhnya lemas, wajahnya pucat, kakinya gemetar, detak jantungnya menjadi lebih cepat, dan dadanya sakit dan menyebabkannya sesak nafas. Ini memang sudah bawaan sejak lahir kata dokter.

"Sialan lo!" David bangkit berdiri dari posisinya yang semula berlutut di hadapan Jean dan menghajar manusia- manusia yang tadi baru saja hampir membunuh Nathan. Anehnya, semua manusia- manusia kurang ajar yang minta dipancung itu langsung tepar tak berdaya ketika baru saja ditonjok David. Mulut Jean terbuka lebar sampai di tanah. Dalam waktu yang sangat singkat, semuanya telah beres.

"Jean, lo gak apa- apa kan?" David menghampiri Jean yang tangan dan kakinya masih terikat pada tiang rumah tua tersebut. Jean hanya menggeleng pelan dan keringatnya bercucuran dengan derasnya karena takut setengah hidup. "Sini gue lepasin dulu." David membuka simpul tali tambang yang mengikat tangan dan kaki Jean dengan hati- hati. "Dah." David tersenyum manis kepada Jean dan membantunya untuk berdiri.

Kaki Jean masih terlalu lemas untuk berdiri. Ketika ia sudah hampir berdiri dengan tegap, tiba- tiba-"Jean! Sadar Jean! Sadar!" Jean jatuh pingsan. Bagaimana tidak pingsan, kalau dari siang aja dia belum makan, disuntik obat bius, disandera, lalu melihat perkelahian yang paling dia benci?

Nathan kini sudah membaik dan akhirnya dapat berdiri juga, walau ujung bibirnya masih berdarah dan wajahnya lebam- lebam, serta kakinya yang terkilir. Cinta itu memang butuh pengorbanan, dan itu terbukti nyata. Walau kini fisiknya sudah sakit, tetapi ia lega karena Jean baik- baik saja. Mungkin, kini bukan hanya fisiknya yang terluka, namun hatinya juga. Ia harus melihat David menggendong Jean pergi dengan bridal style.

"Tak apa, yang penting dia baik- baik saja, dan itu udah cukup buat gue." Nathan menguatkan dirinya sendiri. Ia berjalan dengan terpincang- pincang menuju motornya. Ketika ia sudah sampai di tempat ia memakirkan motornya, ia melihat David berdiri di sana. "Lo ngapain?" Nathan bertanya dengan alis yang terangkat satu.

"Lo gak mungkin naik motor dengan keadaan yang kayak gini. Ikut mobil gue aja. Nanti motor lo ada mobil pick up yang dateng buat ngaterin motor lo sampai ke rumah." David berkata begitu sambil berjalan menuju ke tempat mobilnya terparkir. Nathan hanya menurut. Ia berjalan mengikuti David.

Ketika sudah berada di dalam mobil, Nathan menengok ke belakang dan melihat Jean yang tak sadarkan tertidur di atas sofa mobil David yang berwarna hitam. "Nath, kalo lo gak mampu buat lindungin dia, seengaknya jangan buat dia berada di dalam bahaya." David berkata dengan santainya.

Nathan hanya tersenyum miring, karena nyatanya, dia sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Kalo lo gak mampu buat dapetin dia, seengaknya jangan buat dia tersakiti oleh karena ego lo." Perkataan Nathan membuat David terdiam seketika.

"Maksud lo?" David menoleh ke arah Nathan.

"Penculikan ini.....lo yang jadi dalangnya kan?"

***

Jean akhirnya selamat sampai di rumah pada pukul tiga subuh. Nathan sengaja tidak memberitahukan kepada Eliza siapa pelakunya, karena ia tahu, jika ia memberitahukannya, maka Eliza pasti akan menelepon polisi untuk menangkap penjahat tersebut. Jean digendong keluar oleh David dan ditaruhnya di atas sofa ruang tamu. Setelah berpamitan, akhirnya mereka berdua pulang ke rumah masing- masing.

Nathan terpaksa pulang diantar oleh mobil David. Mau bagaimana lagi, habis motornya sudah dibawa oleh mobil pick up dan keadaan kakinya yang tidak mendukung. Setelah sampai di rumah, Nathan membanting pintu kamarnya dan masuk ke dalam. Ia masih panas karena kejadian tadi. Sabar, Nath. Ini baru permulaan. Masih awal. Ikutin aja permainannya sampai selesai dan lihat siapa yang akan menyerah pada akhirnya. Nathan menghibur dirinya sendiri.

Luka dan memar yang terlukis di wajahnya ia bersihkan sendiri dengan hati- hati. Setelah sudah merasa lebih baik, ia pergi tidur dan berharap semua kejadian ini ia lupakan pada pagi hari. Walau sebenarnya ini memang sudah pagi, sih.



StarlightWhere stories live. Discover now