Menggunakan ekor matanya, Alfian mengamati sekitar. Dan benar saja, semua siswa penghuni kelas IA² meperhatikan mereka yang sedang membuat drama kawakan di siang hari.

Menelan ludah, Alfian mengedip berusaha agar tak bertemu mata dengan mutiara hitam sang gadis. Tangannya gatal ingin keluar dari balik saku celana untuk membalas uluran tangan Diana, tapi rasa gugup menyebabkan produksi keringat berlebih pada telapak tangannya. Belum lagi rasa gemetar yang ia dera membikin Alfian mati kutu, tak tahu harus berbuat apa. Tak mau makin gila gegara berhadapan dengan Diana, ia memilih bangkit dari duduknya dan keluar kelas. Sungguh, Alfian tak bermaksud sombong, hanya saja ... hanya saja, ia ... entahlah.

Apa yang ia rasakan benar-benar tak mampu dijabarkan dengan kata. Alfian saja tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, terlebih pada hatinya.

Alfian pikir setelah insiden hari itu, Diana tak akan punya muka lagi untuk mereka bertemu kembali, namun ternyata Alfian salah besar. Diana justru makin gencar mendekat dengan memberikan perhatian-perhatian kecil. Seperti membawakan bekal, minuman, menungguinya saat bermain basket di lapangan, memperhatikan ia saat menabuh drum asal, membuatkan camilan, dan masih banyak lagi. Makin Alfian menghindar, makin Diana mengejar. Apa lagi dengan seenak jidatnya, Diana memberi panggilan baru untuk Alfian cuma karena ia tanpa sengaja menyebut nama gadis itu dengan panggilan 'Ana' pada obrolan dua arah mereka pertama kali. Hingga akhirnya, Alfian menyerah sendiri. Terserah apa yang mau dilakukan Diana, ia berusaha untuk tak peduli. Alfian tahu Diana menyukainya, tapi Alfian tak bisa membalas rasa gadis itu. Karena dalam banyangan Alfian remaja, di masa depan kelak hanya akan ada seorang Sinta. Bukan yang lain. Meski ia tak bisa memungkiri, perasaan yang tumbuh terhadap Diana jauh berbeda dengan rasa yang ia miliki kepada Sinta. Tapi apa daya, sejak kecil Alfian sudah menanam keyakinan, bahwa ia akan bahagia jika Sintalah pendampingnya. Mereka telah saling mengenal sejak balita. Hubungan keluarga mereka juga sangat baik, jadi tak ada yang perlu ditakutkan. Sebab Alfian yang kaku tak perlu lagi beradaptasi dengan lingkungan dan orang dari keluarga yang baru kelak. Ia tak perlu berlaku sok sempurna di hadapan Sinta, karena Sinta sudah sangat tahu luar dalam seorang Alfian.

Apa mau dikata, jika kenyataan memang tak selalu sesuai harapan.

Hingga enam bulan berlalu. UNAS dan segala tetek bengek kelulusan sudah terlewati dengan tetes keringat demi selembar ijazah penentu. Alfian bahkan telah diterima di universitas bergengsi di luar negeri melalui jalur beasiswa. Dan Diana masih setia mengejarnya.

Waktu yang Alfian tunggu-tunggu pun tiba. Malam pesta perpisahan. Ia jelas merasa lega, setelah ini Diana tak akan lagi mengikutinya.

Dalam suasana ramai tersebut, Alfian duduk sendiri di pojok ruangan. Lebih memilih mengamati suasana tanpa mau berbaur dengan teman-teman yang sudah banyak membentuk kelompok-kelompok dan sibuk mengukir kenangan terakhir. Nyatanya, selama enam bulan menjadi bagian dari siswa Baraklin, tak satu pun yang bersedia menjadi temannya. Sikap Alfian yang terkesan sombong dan terlalu pendiam, serta suka menyendiri, membuat mereka yang pernah mendekat perlahan menjauh. Cuma Diana yang masih setia bertahan, itu pun Alfian abaikan.

Awalnya pun Alfian malas datang ke acara begini. Ia berpikir, untuk apa? Toh, ia tak punya teman di sini. Namun, pada akhirnya dia memilih datang, sekadar untuk melihatnya terakhir kali. Dia. Satu-satunya gadis yang telah membuat kerja otak dan jantung Alfian menggila.

Panjang umur. Baru dipikirkan, gadis itu muncul. Alfian menangkap bayangan dirinya dari ekor mata yang berkelana ke sana-kemari menjelajahi seluruh ruangan gedung aula yang penuh sesak dengan anak-anak kelas dua belas.

Alfian mengedip beberapa kali memandanginya. Dia terlihat berbeda. Tubuh mungilnya dibalut gaun berlengan pendek dengan panjang selutut berwarna soft blue, ditambah kalung panjang berbandul burung hantu yang menggantung manis dileher jenjangnya yang mulus. Sederhana tapi memesona. Membuat Alfian enggan untuk berpaling ke yang lain.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now