BAB 13

21.4K 2.8K 175
                                    

"Aku putus dari Abi."

Tangan Alfian yang hendak memasukkan gula rendah kalori ke dalam cangkir kopinya terhenti di udara. Apa Sinta baru saja berbicara mengenai berakhirnya hubungan gadis itu dengan Abi? Mendongak, Alfian mengedip beberapa kali.

"Ya?"

"Aku putus dari Abi."

Benar. Alfian ternyata tak salah dengar. Mengerutkan kening, ia bertanya lagi. "Bagaimana bisa?"

Sinta tak langsung menjawab. Alih-alih, ia mengangkat cangkir cappucino-nya yang masih mengepulkan asap. Meniup sebentar, kemudian mulai menyesapnya perlahan. Membiarkan cairan kental itu membasahi kerongkongannya yang sudah mengering. "Aku nggak suka laki-laki plinlan," jawabnya dari balik cangkir.

"Plinplan?" Alfian memyendok gula kembali dan menuangkan pada gelas kopinya. "Bagaimana bisa kamu menyimpulkan seperti itu?" Ia menunduk, mengaduk cairan hitam tersebut supaya batu-batu perasan tebu yang baru saja ia tuangkan bisa segera melebur.

Jauh didyalam sana, Alfian sedang berusaha menelaah hatinya sendiri. Mencoba mencari bongkahan rasa senang atas berita buruk yang baru saja ia dengar. Dan saat bongkahan itu tak ia temukan, Alfian mulai frustrasi. Entah mengapa, ia justru merasa bahwa Abi adalah laki-laki yang tepat untuk sahabat kecilnya ini.

"Aku merasa dia mempunyai affair dengan Diana."

Menghentikan adukan, Alfian mendongak. Ia menempatkan sendok teh yang dipakainya ke atas meja, berusaha meredakan getar aneh yang lagi-lagi terjadi setiap nama itu disebut.

"Affair?" Bagai orang bodoh, Alfian mengulang lagi kata kunci dari kalimat yang Sinta lontarkan dengan tanya. Pertanyaan konyol yang sebenarnya tak ia ajukan pada Sinta, melainkan dirinya sendiri.

"Aku percaya Abi. Tapi, aku nggak percaya sama wanita itu." Alfian menelan ludah mendengar penekanan kata yang sangat kentara pada akhir kalimat Sinta. Tampak sekali bahwa ia benar-benar tidak menyukai Diana. Dan kenyataan itu membuat kepala Alfian mendadak pening.

"Kalau kamu percaya, kenapa kamu putusin dia?"

Berdecak, Sinta menjawab, "Bukannya aku udah bilang." Ia memajukan badan dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Abi itu plinplan, Alfian." Ada emosi dalam getar suara Sinta yang dapat Alfian tangkap dengan jelas. "Wanita jalang itu terang-terangan suka sama dia, tapi dia diam aja. Lelaki macam apa itu? Dan apa menurut kamu, aku harus mempertahankannya?"

Menghiraukan pertanyaan Sinta, Alfian berbicara, "Diana bukan jalang." Tak tahu mengapa, hatinya panas mendengar gelar yang diberikan Sinta terhadap gadis itu.

"Kamu membelanya?"

"Sinta, aku nggak sedang membela siapa-siapa. Aku hanya—"

"Sedang membelanya!" Nada bicara Sinta naik satu oktaf, praktis menarik perhatian dari beberapa pengunjung Coffee Rame yang mejanya dekat dengan letak meja mereka.

"Di sini, aku sahabat kamu, Al. Dan kamu membela wanita jalang itu yang jelas-jelas salah. Dia berusaha meraih perhatian Abi yang jelas-jelas pacar aku!"

Cukup sudah. Telinga Alfian tak tahan lagi mendengar penghinaan Sinta. "Berhenti menyabutnya jalang. Karena dia tidak begitu!"

Sinta mengerjap. Dengan jelas ia bisa melihag rahang Alfian yang mengeras, dan itu berhasil membuat Sinta bungkam. Alfiannya tak pernah seperti ini. Semarah ini. Alfian yang selalu terlihat tenang, bagaimana bisa berubah emosional? Hanya karena satu nama yang selalu berusaha menarik perhatian mantan kekasihnya. Diana.

"Diana bukan jalang!" Alfian kembali menegaskan. "Karena, GG tidak pernah merekrut seorang jalang sebagai karyawan."

Sinta menekan bibirnya membentuk garis lurus. Ada kilatan kemarahan di mata gadis itu ketika menghujami sang lawan dengan tatapan tajam.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now