BAB 05

22.4K 3K 59
                                    


BAB 05

Diana baru saja keluar dari ruang meeting saat ponselnya terasa bergetar. Kening gadis itu berkerut, ketika nomor baru yang tertera dilayar. Menghentikan langkah, Diana membuka pesan dari nomor tak dikenal tersebut.

From: +6285122378xxx

Hari ini, Doni ada kerja kelompok di rumah Bima. Pulang kantor, jemput Doni yaa, Kak.

Doni.

Tanpa sadar, Diana mengehembuskan napas lega. Dia memasukkan kembali ponsel pintarnya ke dalam saku rok dan meneruskan langkah yang tadi sempat terhenti. Di belakangnya, ada Rissa yang setia mengikuti. Sahabatnya itu tampak sedang sibuk dengan ponsel sendiri sehingga tak begitu mempedulikan Diana.

"Tolong acakan jadwalku hari ini, Ris." Diana meraih ganggang pintu ruangannya dan bergerak cepat menuju kursi putar yang biasa ia tempati. Rasa lelah mendera. Meeting selama tiga jam lebih untuk membahas pembiayaan pembangunan hotel cabang baru di Batam, bukanlah hal menyenangkan. Apalagi ia melewatkan sarapan pagi tadi. capai, ngantuk, dan lapar jangan ditanya lagi.

"Meeting tadi adalah meeting  terakhir hari ini." Rissa meletakkan beberapa berkas di atas meja di hadapan Diana. Yang diajak bicara hanya mengangguk mengerti sembari menyandar pada punggung kursi sambil memejamkan mata.

Melihat gelagat Diana, Rissa mengurungkan niatnya untuk kembali keruangan sendiri. Gadis itu kemudian menjatuhkan diri pada kursi di hadapan Diana dan melipat tangan di atas meja. "Ada masalah?"

Kelopak mata Diana membuka secara perlahan. Tanpa membalas tatapan Rissa, dia menjawab, "Nggak ada."

"Elo nggak bisa bohongin gue, Dee."

Mendesah, Diana menegakkan punggungnya menatap Rissa. "Keluar gih sana. Gue mau lanjutin kerjaan." Diraihnya beberapa berkas secara acak dan mencoba fokus. Mengabaikan Rissa yang masih menatap tajam. Ingin tahu.

Tak tahan dengan aksi diam Diana, Rissa-pun bangkit. Melenggang pergi dari ruangan sahabatnya. Sejak beberapa tahun terakhir ini, Diana memang jauh lebih tertutup dari masa-masa kuliah dulu. Hal itu cukup membuat Rissa merasa tidak lagi dibutuhkan. Dan Rissa membenci gagasan itu. Bahkan, Rissa sampai harus menyalahgunakan kekuasaan orang tuanya untuk bisa menjadi asisten manager keuangan di perusahaan ini sewaktu mengetahui Dianalah yang menduduki posisi penting tersebut.

Diana adalah sahabat terbaik yang pernah Rissa miliki. Dulu, gadis itu selalu ada untuk Rissa. Membantunya di saat-saat paling sulit. Dan Rissa tidak mau kehilangan sahabat sebaik dia.

∅∅∅

Kini sudah jam 21:00. Dan Diana baru selesai dengan pekerjaannya. Buru-buru ia membereskan semua barang-barang dan bergegas keluar. Langkahnya terhenti sejenak di lobby kantor, tersadar telah melupakan sesuatu. Merogoh ponsel di dalam tas, dia membuka pesan Doni tadi siang untuk mengecek alamat rumah teman sekelasnya.

Pandangan mata Diana menajam tatkala indera penglihatannya menyapu deretan huruf yang tertera di layar smartphone dalam genggamannya. Sebuah alamat yang harus didatangi Diana untuk menjemput Doni. Alamat rumah di mana teman Doni tinggal. Daerah Menteng Selatan yang detailnya sudah ia hafal mati di luar kepala.

Lutut Diana melemas. Alamat rumah ini adalah tempat yang dulu ia huni. Sebuah rumah impian yang gagal ia tebus. Dan malam ini, ia harus datang ketempat itu ... sebagai tamu.

Mendadak, kepala Diana tetasa pening. Ia nyaris luruh ke lantai, jika saja tak ada yang menyangga tubuhnya dari belakang.

"Kamu nggak apa-apa?"

Diana mengerjap beberapa kali. Menyadari posisinya yang tidak begitu baik, buru-buru ia menarik diri dan berdiri dengan benar. Diana menoleh, mendapati wajah cemas dari seorang rupawan  di hadapannya. Abi.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now