BAB 08

21.5K 2.8K 90
                                    

"Whats up, Bro?!"

Satu tepukan di bahunya sukses membangunkan Alfian dari lamunan. Kaget, dia mengedip satu kali lalu mendongak dan menemukan sosok seseorang yang sedang tercengir di sebyrang meja.

Adalah Restu, pemuda berwajah ceria, sahabat Alfian sejak SMA. Alfian mendesah, antara jengkel dan ingin marah. Orang ini selalu saja seenaknya sendiri.

"Ngapain bengong?" Restu menarik satu kursi di depan meja kerja Alfian dan mendaratkan bokongnya di sana. Alih-alih menjawab, Alfian justru meraih laptop yang tadi ia pinggirkan dan mulai kembali bekerja.

Restu berdecak pelan. "Oh ayolah, Fi ... Jangan sok profesional, gitu."

Alfian masih tak menanggapi, meski dia tahu, ia tak akan bisa bekerja dengan fokus apabila ada si gila Restu dalam radius satu kilometer di dekatnya. Playboy ulung yang satu ini memanglah pengganggu sejati.

Merasa terabaikan, Restu mendorong laptop di hadapan Alfian hingga setengah menutup. Aksi lancang yang sukses membuat Alfian berang.

"Restu, gue mesti kerja." Dikembalikannya lagi laptop kerja itu pada posisi semula. "Gue bukan lo yang nggak punya kerjaan."

Restu mencebik. Itu sindiran halus baginya. Jika Alfian pulang dari Surabaya langsung dilantik jadi Direktur keuangan, maka hal berbeda terjadi dengan Restu. Alih-alih dilantik menjadi petinggi, pemuda ini justru diposisikan sebagai OB di perusahaan keluarganya sendiri. Sang ayah beralasan agar Restu bisa belajar dari bawah, sekaligus untuk pengalaman, katanya.

"Gue kabur dari kantor. Puas lo!"

Pada awalnya memang ingin marah, namun niat itu sirna mendengar penuturan barusan. Alfian justru tertawa. Oke! mungkin dia memang harus meluangkan sedikit waktu untuk menghibur Restu yang masih galau atas keputusan Tuan Adibyo, ayah dari sahabatnya itu.

"So, ngapain lo ke sini? ini masih belum jam makan siang." Alfian menyandar santai pada punggung kursi kerjanya.

Restu mendesah. "Gue suntuk." Niat ingin curhat, tapi urung saat mengingat sesuatu. Wajah Restu yang semula lesu berubah serius dalam waktu beberapa detik. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan melipat tangan di atas meja kerja Alfian. "Tadi di depan, gue papasan sama Diana." Mulai Restu. Topik pembicaraan yang berhasil menarik perhatian sang lawan bicara. "Gue pengen nyapa, tapi takut salah orang. Apa lagi dia keliatan melamun gitu. Emang bener, Diana kerja di sini?"

Alfian mengangguk membenarkan. "Ya!"

"Eh, busyet!" Restu menarik kembali punggungnya dan mendaratkan pada sandaran kursi. "Segitunya dia ngejar lo? Dari SMA sampe kerja." Ia manggut-manggut. "Gue salut sama tuh cewek."

Ada kerutan halus di kening Alfian. Perkiraan Restu seratus persen salah, bahkan Alfian sendiri sangsi bahwa semasa SMA Diana tahu bahwa dirinya adalah putra mahkota keluarga Galileo, mengingat sikap Diana yang begitu acuh sebelumnya. "Dia nggak kenal gue."

Satu alis Restu terangkat. "Oh ,ya?" Yang dijawab Alfian dengan satu anggukan. "Cara baru, eh?"

"Maksud lo?"

"Nggak usah sok polos deh, Bro. Cara kayak yang dilakuin Diana tuh, udah basi." Alfian yang tak mengerti memilih untuk diam. Menunggu Restu melanjutkan. "Dia pura-pura acuh karena pengen narik perhatian lo doang. Istilahnya mah, tarik ulur, gitu."

Alfian mendesah. Biar kata dia dulu adalah si pangeran es, tapi Alfian mengenal Diana. Bahkan dengan melirik gadis itu sekilas pun, Alfian sudah bisa menebak isi kepalanya. Tapi, itu dulu.

Sekarang, dia bukan lagi Dee yang sama.

"... Dia suka orang lain." Mungkin. Alfian sejujurnya tak yakin. Tapi, ia mengenal tatapan mata itu. Tatapan mata yang sempat tertangkap Alfian dari seorang Diana di ruang rapat bulan lalu saat masa pelantikannya. Tatapan yang penuh dengan rasa ketertarikan, tapi bukan untuknya.

(Not) a Perfect LifeDär berättelser lever. Upptäck nu