BAB 19

19.9K 2.8K 167
                                    

Sore beranjak petang. Waktu kantor sudah berakhir sejak satu jam yang lalu, akan tetapi tak ada tanda-tanda Alfian akan bergerak pulang. Ia justru tampak masih betah di kursi kebesarannya, memerhatikan satu kotak beludru hitam yang setengah terbuka, bertengger di atas meja.

Sebuah gelang kaki berbahan platina ada di dalam sana.

Lama Alfian memperhatikan benda tersebut, hingga perlahan memori masa lalu membawanya berkelana. Menengok kenangan yang telah lama ia lupakan.

Masih segar dalam ingatan Alfian akan petaka kecil yang memberi dampak besar dalam hidupnya.

Dulu, hanya karena ia menghajar teman sekolahnya yang menjadikan Sinta sebagai bahan taruhan untuk diperebutkan hingga masuk IGD, Alfian harus menerima ganjaran dikeluarkan dari SMA Dipetrus lantaran siswa yang ia hajar adalah seorang anak pejabat. Dan dari sanalah semua bermula.

Setelah mendapat ceramah panjang dari Rudi, Alfian dipindahkan ke SMA swasta lain yang jaraknya tak sampai lima langkah dari SMA-nya terdahulu. SMA Baraklin, yang terkenal dengan para siswanya yang nakal, sering terlibat tawuran dan konvoi tanpa mengenal aturan. Tak sampai di situ saja. Di sekolah ini pula, ia bertemu dengan dia, gadis aneh yang selalu mengekor kemana pun Alfian pergi.

Namanya Diana Caesa Elfinza. Pertama kali Alfian bertemu dengan gadis itu ketika ia memanfaatkan jam pelajaran kosong dengan menabuh drum dibruang musik untuk menghilangkan rasa bosan. Alfian sungguh tidak betah di Baraklin, karena di sekolah ini tak ada Sinta. Satu-satunya teman dekat yang ia miliki.

Kala itu, Alfian sendirian di ruang musik yang sunyi. Menikmati irama tabuhan asal yang ia ciptakan. Sampai detik yang mengganggu tiba. Alfian merasa ada yang meperhatikannya dari balik jendela, dan hal tersebut membuat ia tak suka.

Mengangkat kepala, pukulan Alfian pada tubuh drum di hadapannya terhenti, seiring dengan perputaran waktu yang serasa ikut berhenti. Alfian menelan ludah kelu. Segala umpatan yang sudah ia siapkan kepada siapa pun pengganggu itu, tertahan di ujung lidah saat tanpa sengaja tatapan mereka bertemu.

Di depan sana, tepat dibalik jendela kaca, Alfian melihat dia. Seorang gadis belia dengan bola mata bulat memperhatikannya dengan seksama. Mutiara bening nan hitam milik gadis itu bagai mata panah yang berhasil menusuk tepat di jantung Alfian, membikin organ pemompa darahnya tak berkedut beberapa saat. Dan untuk pertama kali, Alfian merasa tak percaya diri di hadapan seorang gadis.

Gadis itu memiliki kepala berbentuk oval, berhidung kecil mancung dan bibirnya tipis berwarna pink pucat. Secara keseluruhan, cantik. Apalagi rambut sepunggungnya yang diikat tinggi menyerupai bentuk ekor kuda, membikin ia tampak makin jelita. Tangan Alfian gemas ingin bergerak menyingkirkan anak-anak rambut nakal yang berjatuhan di sekitar kening mulus gadis tersebut. Tapi, siapalah dia? Terlebih, siapalah si gadis berseragam olahraga yang sudah membuat Alfian berpikir gila macam begini. Yang pasti, Alfian betah memandangi ciptaan Tuhan yang satu ini.

Entah berapa lama mereka tenggelam dalam telaga bening masing-masing lawan, hingga akhirnya gadis itu tersenyum malu-malu sebelum berbalik pergi dari area ruang musik dan menghilang di balik gedung laboratorium kimia.

Tangan Alfian yang sejak tadi masih menggantung di udara, meluruh kembali kesyisi tubuhnya. Tanpa sadar, stik-stik yang ia genggam terjatuh ke lantai, menimbulkan suara dentingan yang cukup nyaring di ruang musik Baraklin yang sepi, tetapi Alfian sendiri malah tak mendengarnya. Yang ia dengar justru detak jantungnya sendiri yang memburu.

Sebenarnya siapa dia? Bagaimana bisa hanya dengan tatapan polos, gadis itu mampu membuat seluruh organ dalam tubuh seorang Alfian kehilangan kendali?

Tak sampai di situ saja, dua hari berselang, ia datang lagi. Kali ini bukan di ruang musik, melainkan di kelas. Tiada angin, tiada hujan, dia nekat mendatangi kelas XII IA² hanya untuk berkenalan. Dengan berani, ia yang mengaku biasa dipanggil Dee, berdiri di depan bangku Alfian sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Senyum yang ditampilkannya lebih lebar dari kemarin.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now