BAB 09

20.4K 2.9K 91
                                    

SEMBILAN

Tiga puluh menit sudah berlalu. Dua gelas lemon tea-pun sudah kandas tak bersisa. Namun, yang ditunggu belum datang juga.

Rissa mendesah. Ke mana saja pemuda itu? Lemburkah? Macet? Atau mungkin ... dia lupa?

Tak tahan menunggu, Rissa merogoh ponsel pintarnya dari notebag yang ia bawa. Belum sempat Rissa memencet tombol kunci, satu pesan tiba-tiba masuk. Dari orang yang ia tunggu.

Enggan, Rissa membuka.

From: Alfian Galileo.

Sorry, gue nggak bisa dateng. Ada berkas yang harus segera gue urus. Bagaimana kalau lain kali saja?

Rissa menarik napas. Kalau sudah begini, dia bisa apa?

Diletakkannya benda pipih berwarna putih itu ke atas meja, kemudian dia bersandar pada punggung kursi. Melihat keluar jendela kaca, menegadah pada langit berwarna kelabu dari sebuah kafe di lantai tiga pusat perbelanjaan di kawasan Casablanka. Menikmati semua rasa yang kini menjadi satu. Gadis itu memejamkan mata. Niatnya sudah bulat. Semua ini harus segera diakhiri.

🍂🍂🍂

Jam 10:11 pm, Diana sampai di depan rumahnya. Pekerjaan di kantor menumpuk hari ini, dan dia tidak mungkin membawa pulang. Mau tidak mau, ia harus lembur.

Diana tak bisa untuk tidak bernapas lega saat melihat suasana di dalam rumah. Semuanya nampak baik-baik saja. Sudah dua minggu ini Marko tudak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di rumah ini. Entah ke mana dia pergi. Diana mulai belajar untuk tak mau peduli lagi. Yang ia inginkan hanya hidup damai bertiga. Dengan Mama dan Doni.

Menutup pintu, Diana berbalik untuk menuju kamarnya, namun langkahnya terhenti saat tanpa sengaja ia melirik ke arah kamar sebelah yang setengah terbuka. Menampakkan keadaan seseorang di dalam sana.

Diana mendekat tanpa suara. Mengintip Maura dari celah yang terbuka. Di sana, di pinggir ranjang yang ukurannya sedikit lebih besar dari tempat tidur Doni, Maura duduk termenung dengan tatapan kosong.

Akhir-akhir ini Maura memang berubah pendiam. Bahkan sajak kejadian malam itu, anak dan ibu ini belum terlibat percakapan panjang. Diana tahu, bukan hanya kesalahpaman di antara mereka yang membuat Maura berubah begini, tetapi juga ketidakpulangan Marko yang tanpa kabar.

Diana mengernyit. Merasakan udara di sekitar yang mulai menipis secara perlahan. Membuat Diana makin lama makin sulit bernapas. Dalam diam, gadis itu berusaha keras mencari jawaban atas satu-satunya pertanyaan yang sejak dulu ia simpan.

Sedalam itukah cinta Maura?

"Didee?"

Diana terperajat. Tak ingin ketahuan mengintip, ia segera menoleh ke sumber suara. "Doni?" Ia menoleh sekali lagi ke dalam kamar Maura. Ia menghembuskan napas lega saat mendapati sang mama yang tetap bergeming ditempat semula. Kemudian dihampirinya Doni yang kini berdiri di ambang pintu kamar mereka.

"Kenapa belum tidur?" tanyanya dengan sayang. "Udah malem, loh."

Doni nyengir kuda. Menampakkan gigi kelincinya yang lucu. "Aku nunggu Didee pulang," jawabnya. "Akhir-akhir ini, Doni sering kebangun malem dan nggak nemuin Didee di rumah."

Ada rasa haru dan hangat yang perlahan menjalari hati Diana secara perlahan saat mendengar jawabn polos itu. Diana tak tahan untuk tidak mengusap ubun-ubun sang adik. "Didee banyak kerjaan di kantor."

"Yaudah. Tidur, yuk!"

🍂🍂🍂

Pagi ini, Diana sudah siap untuk berangkat kerja. Dengan langkah mantap, ia keluar dari kamar. Pagi ini, dia ada rapat penting dengan para pegawai divisinya untuk membahas masalah perubahan sistem keuangan yang baru. Dan sebagai Manager, Diana tidak boleh datang terlambat.

(Not) a Perfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang