BAB 12

21.7K 3K 124
                                    

Wajah polos itu terlelap. Tubuh tambunnya tampak mulai kehilangan bobot. Nyatanya, kehilangan sosok seorang ibu tak hanya dirasakan oleh Diana, tapi juga Doni. Bocah kecil ini bahkan keadaannya lebih buruk lagi.

Diana mengelus kerutan dalam pada kening sang adik. Entah seburuk apa mimpi yang dialami Doni. Diana hanya bisa berharap, semoga mimpi buruk adiknya segera berakhir.

Diana mencondongkan tubuh. Dikecupnya dahi Doni tepat diluka yang tertutup perban. Kepala adiknya yang malang ini terbentur kaki meja saat hendak melindungi Maura dari amukan Marko ketika kejadian terkutuk itu berlangsung. Beruntung, ini hanya luka kecil. Justru psikis Donilah yang patut mendapat perhatian. Bocah kecil itu mengalami trauma yang cukup menghawatirkan. Melihat langsung saat ibu yang tersayang ditusuk oleh ayah kandung, membuat Doni tak kuasa menahan kesadaran. Dia pingsan di detik yang sama.

Menurut dokter yang menanganinya, Doni menjerit ketakukan sewaktu terbangun beberapa jam kemudian. Dan saat melihat jarum suntik yang dibawa seorang perawat, tubuh Doni bergetar. Histerisnya semakin jadi. Tak lama ia pingsan lagi. Bahkan sejak kejadian itu, Diana belum sekalipun melihat Doni terbangun. Dokter menyarankan agar Doni dihipnoterapi untuk menghilangkan kenangan buruk kemarin. Diana hanya bisa menyetujui apapun itu. Asal Doninya bisa kembali. Karena kini hanya Doni yang dia punya. Satu-satunya.

"Maafin Didee, ya. Didee nggak becus jagain kamu."

🍂🍂🍂

Alfian melonggarkan dasi yang sejak pagi serasa mencekik lehernya. Ini sungguh hari yang panjang, juga melelahkan.

Alfian mendesah frustrasi. Ia penasaran dengan pernyataan Restu di kantor tadi. Tapi belum sempat Alfian menyuarakan pertanyaan pada sahabatnya itu, ponselnya berdering, menandakan ada panggilan masuk. Dari papa. Beliau menyuruhnya pulang karena ada hal penting yang harus dibicarakan.

Maka, di sinilah dia sekarang. Di rumah orang tuanya yang berdiri kokoh bak istana di kawasan Bintaro. Duduk di sofa single berwarna putih di ruang keluarga, berseberangan dengan Rudi Galileo Hutama—ayahnya.

"Papa mau ngomongin apa?" Alfian menumpukan kedua sikunya di atas lutut. Sedikit mencondongkan tubuh ke depan untuk memusatkan fokus pada topik yang akan mereka bahas.

Rudi tak langsung menjawab. Ia menatap Alfian tajam, berusaha mengintimidasi sang putra sebelum mengajukan pertanyaan. "Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian?"

Satu alis Alfian terangkat. "Kalian?"

"Kamu dan Rissa."

Alfian mengedip. Ia sedikit memundurkan punggungnya. Cukup sensitif dengan topik pembicaraan ini. Sejak perjodohan itu tercetus tiga tahun lalu, Alfian memang tak sekalipun menolak atau menerima. Karena dia memang tak punya alasan untuk menolak, pun dia tak tertarik pada Rissa secantik apa pun dia. Mereka sempat beberapa kali berbincang di awal-awal kepulangan Alfian ke Jakarta, tapi tak ada satupun dari diri Rissa yang membuat Alfian terkesan. Bagi Alfian, dia sama halnya dengan gadis-gadis lain. Sebab, hati pemuda itu sudah ia peruntukkan untuk Sinta. "Kami baik-baik saja."

"Benar kamu tidak melakukan sesuatu? Membuat dia marah, misalnya."

Alfian menegakkan punggungnya. Keningnya berkerut, mencoba mengingat interaksi terakhirnya dengan Rissa. "Enggak ada. Semuanya baik-baik aja."

Rudi mendesah panjang. Ia meletakkan tangannya pada lengan sofa lalu bersandar. "Papa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian." Nada suaranya melembut. Ekspresi Alfian menggambarkan dia berkata jujur. "Tadi Ayah Rissa telepon. Rissa mau pertunangan kalian dibatalkan. Padahal Papa sangat ingin berbesanan dengan Suganda. Beliau sahabat karib Papa sejak SMA"

Sebenarnya Alfian sedikit kaget mendengar berita ini. Berita buruk yang sayangnya berhasil menarik sudut-sudut bibirnya membentuk sebuah senyum samar. "Mungkin, dia suka sama laki-laki lain." Dan apa pun alasan Rissa memutuskan hubungan perjodohan mereka, Alfian menyukurinya.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now