BAB 06

22.7K 3K 87
                                    

BAB 06

Alfian membatu. Diam seribu bahasa dalam keremangan kamar di rumahnya yang baru beberapa hari ini ia tempati. Rumah besar bernuansa hangat yang berhasil ia menangkan dari acara lelang sebuah bank swasta dengan harga miring beberapa tahun silam. Tapi, bukan itu yang menjadi beban pikiran pemuda tampan ini. Melainkan kejadian beberapa jam yang lalu. Diana dan tempat tinggalnya.

Alfian mendesah. Setelah berdebat cukup Alot dengan Diana, pada akhirnya gadis itu pasrah juga saat Alfian memaksa akan mengantar pulang. Dan kebingungannya dimulai dari sana.

Diana. Seorang Manager GG, perusahaan besar yang didirikan oleh kakek Alfian sendiri. Perusahaan kenamaan yang sudah memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Rasanya tidak mungkin, bila manager keuangannya justru hidup dalam bangunan tak layak huni. Kawasan kumuh.(?)

Alfian sangat tahu. Posisi yang diduduki Diana, penghasilanya bahkan mencapai delapan digit dalam mata uang rupiah per bulannya. Lalu, bagaimana bisa gadis itu masih tinggal di sana?

Masih?

Alfian mendengus kasar. Yang pemuda itu tahu, Diana bukanlah anak orang susah. Dia adalah putri dari pemilik perusahaan Finz Corporation. Meski perusahaan tersebut telah diakuisisi dan berganti nama sejak beberapa tahun yang lalu, tapi rasanya tidak mungkin hidup keluarga Elfinz berubah seperti ini. Serendah ini.

Alfian pada awalnya mengira, Diana tinggal di sebuah gedung apartemen di mana mereka pernah bertemu beberapa minggu lalu. Namun saat Alfian mengarahkan mobilnya ke daerah Sudirman, Diana justru menunjukkan arah yang berbeda. Apalagi, gadis itu juga meminta diturunkan di halte bus yang kemudian ditolak Alfian mentah-mentah. Mana mungkin ia tega menurunkan seorang perempuan di pinggir jalan, dengan bocah yang tengah pulas dalam gendongannya pula.

Mereka kembali berdebat, dan berakhir dengan kemenagan Alfian. Diana mengalah, memberi intruksi kepada pemuda itu untuk masuk ke sebuah gang. Alfian sempat ragu sejenak, namun ia tetap menurut. Sepanjang memasuki gang kecil itu, bibir Alfian tak hentinya mengoceh. Menanyakan, apakah Diana tidak salah jalan atau mungkin karena pusing, dia jadi lupa di mana letak tempat tinggalnya. Yang tak satu pun pertanyaan tersebut mendapat jawaban. Hingga akhirnya Alfian memilih diam dan menjadi sopir penurut. Mobil mereka berhenti di depan rumah—yang menurut Alfian lebih cocok disebut gubuk—di ujung gang.

Alfian termangu. Shok, tentu saja. Bahkan saking linglungnya, ia sampai tidak mendengar ucapan terima kasih Diana.

"Kamu ... kamu tinggal di sini?" Pertanyaan itu melucur begitu saja dari bibir Alfian, bahkan tanpa menoleh kepada sang lawan bicara.

Tangan Diana yang sudah terjulur hendak membuka pintu, tertahan di udara. Ia membasahi bibir merahnya yang terasa mengering sebelum menjawab pelan, "Iya."

Kemudian, hening meraja. Keduanya tak bersuara lagi. Alfian masih sibuk dengan pikiran sendiri, sedangkan Diana masih menunggu kelanjutan pertanyaan yang mungkin akan kembali dilayangkan sang atasan. Hingga dua menit berlalu, dan belum ada yang kembali memulai.

Tak ingin diam lebih lama, Diana mengucap terima kasih untuk kedua kalinya dan segera turun dari mobil.

Bunyi bedebum pintu penumpang di belakang berhasil menyadarkan Alfian. Pemuda itu tetap diam. Menatap nanar punggung ringkih Diana yang berjalan memasuki gubuk kecilnya. tampak sedikit kesusahan menggendong tubuh berisi Doni yang masih telelap.

Bodoh! Rutuk Alfian dalam hati.

Seharusnya, Alfian tidak seterkejut itu. Seharusnya, dia membantu Diana menggendong Doni ke dalam rumah. Seharusnya ....

... Diana tidak tinggal ditempat ini!

Di malam buta itu, Alfian kembali pulang dengan perasaan gundah. Tanpa memedulikan waktu, ia mendial nomor ponsel Rudi—ayahnya. Demi  menanyakan gaji seorang manager di perusahaan mereka. Demi memastikan bahwa tak seharusnya kariawan GG hidup kesusahan. Alih-alih mendapat jawaban, Alfian justru mendapat ceramah panjang, lantaran menelpon saat subuh hampir datang.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now