BAB 07

25.1K 2.8K 169
                                    

Tarik napas, keluarkan...

Tarik lagi, keluarkan lagi...

Hingga lima menit berlalu, hanya itu yang bisa Diana lakukan di depan sebuah pintu ganda ruangan Direktur Keuangan.

Dinda—sekretaris Alfian yang mengantarkannya—hanya bisa memandang bingung. Selama satu tahun ia menjadi sekretaris direktur keuangan, tak sekalipun Dinda pernah melihat hal ganjil seperti ini.

Diana gugup? Bagaimana bisa?

Sedikit tidak enak hati, Dinda berdehem untuk menarik perhatian Diana, karena ia sudah merasa pegal terus berdiri dengan heels sepuluh senti tanpa melakukan  apa pun. Dan suara tenggorokannya yang agak serak berhasil membuat Diana menoleh.

"Kenapa Ibu tidak langsung masuk saja?" Dinda bertanya formal. Jika biasanya dia akan berbicara nonformal dengan karyawan kantor lainnya, maka hal itu tidak berlaku bagi Diana. Manager yang satu ini terlalu kaku, serta sulit untuk diajak bercanda, kecuali oleh orang-orang terdekatnya saja.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Diana tampak salah tingkah. Gestur langka yang jarang ia perlihatkan, membuat Dinda harus mengerjap beberapa kali karena tidak yakin akan indra penglihatannya sendiri. Ah, setidaknya setelah melihat pemandangan itu, Dinda kini yakin bahwa Diana memanglah manusia biasa—bukan robot hasil buatan Jepang yang hanya memiliki ekspresi datar.

"O—oh, baiklah." Diana melempar senyum kikuk. Saking gugupnya, ia tidak sadar telah melakukan itu. Satu gestur lain yang lagi-lagi membuat Dinda melongo.

Diana tersenyum padanya? Langka sekali.

Tak memperdulikan tampang bodoh Dinda, Diana mendekat menuju pintu ganda berbahan kayu jati dengan ukiran burung elang di hadapannya. Menarik napas sekali lagi, ia mulai mengetuk pintu tiga kali.

"Masuk!" Perintah suara berat dari dalam ruangan.

Takut-takut, Diana memutar kenop pintu dan mendorong perlahan. Debaran jantungnya jangan ditanya lagi. Sebab, kini organ penting itu sudah berdemo minta dicopot paksa dari rongga dada.

Tak memiliki penopang untuk dijadikan pengalihan rasa gugup, Diana meremas ujung folder hijau yang ia bawa. Langkah kakinya terasa sangat berat saat ia seret untuk terus terayun ke arah meja sang direktur yang kini sudah mengalihkan perhatian dari layar MacBook padanya.

Setelah merasa agak tenang, gadis itu membuka suara. "S—selamat pagi, Pak!" Mati-matian dia menghiraukan perintah otaknya untuk menunduk dan menghindari tatapan mata tajam Alfian yang masih tak berkedip. Tapi, Diana tidak sepengecut itu. Hanya karena dia sudah bisa mengingat kisah lalu tentang masa SMA mereka dari diary merah jambunya yang sempat ia baca malam kemarin, bukan berarti Diana harus merasa terintimidasi. Meski sebenarnya, ia sudah merasa ciut sejak menatap pintu ganda ruangan pemuda ini.

Alfian mengangguk tanpa membalas sapaan Diana dengan suara. Ia menjauhkan laptop dari hadapannya dan melipat tangan di atas meja. Bersiap mendengar pelaporan dari Manager Keuangan perusahaan mereka.

"Ini ...." Tangan Diana bergerak, meletakkan folder keuangan periode kemarin yang belum diaudit ke atas meja kerja Alfian sesopan mungkin. "Laporan keuangan perusahaan kita per 31 Maret 2015. Pendapatan Galileo's Group periode ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding periode sebelumnya," terang Diana berusaha menahan gugup. Alfian memerhatikan sambil menyatukan jari-jarinya sebagai penopang dagu. "Tapi untuk informasi lebih lanjut, Bapak bisa memeriksanya langsung."

"Oke!" Sang direktur menegakkan badan. Ia meraih folder hijau di hadapannya dan mulai memeriksa. Kening Alfian tampak berkerut samar, tanda fokusnya yang hanya tercurah pada berkas-berkas tersebut. Terlihat sekali bahwa pemuda itu tengah berkonsentrasi penuh memeriksa laporan keuangan serta hasil interpretasi yang juga disertakan oleh Diana dalam folder yang sama. Dan diam-diam, Diana mengamati setiap perubahan ekspresi atasannya itu penuh minat.

(Not) a Perfect LifeΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα