BAB 16

19.2K 2.8K 100
                                    

"Kayaknya sejak pulang dinas, lo jadi doyan banget kopi, ya?" Restu keluar dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisikan seteko teh dan dua gelas kosong. Sengaja ia tidak menyeduh kopi untuk satu mahluk galau yang malam ini kembali mengungsi di tempatnya. Setelah meletakkan nampan yang dibawa ke atas meja, Restu mengambil tempat di sofa buluk panjang yang berlawanan dengan tempat duduk Alfian. Mengamati raut datar karibnya yang tampak kelelahan.

Alfian mendesah. Ia mengusap wajahnya gusar. "Kenapa nggak bikinin gue kopi?"

Dan pertanyaan itu sesuai espektasi Restu. Dengan santai ia menjawab, "Cukup satu minggu ini lo begadang, Bro!"

"Tapi gue butuh kopi!" geram Alfian kesal. Pemuda ini benar-benar membutuhkan asupan kafein malam ini untuk sedikit meredakan resahnya.

Gila! Alfian mengempaskan punggungnya dengan kasar pada sandaran sofa single yang kini ia duduki. Selama satu minggu ini perasaannya tak menentu. Dan hal itu dikarenakan seorang gadis yang sudah dua bulan lebih tak ia temui.

Setengah mati ia menolak bisikan hatinya yang berkata bahwa ini rindu. Bah! Persetan dengan rasa ini. Ia tak mungkin merindukan gadis itu. Tak mungkin dan tak akan. Tapi kalau bukan rindu, lalu rasa asing apa yang kini menelisik hatinya perlahan. Menyebabkan Alfian susah berkonsentrasi dan mudah emosi.

Satu alis Restu terangkat tinggi. Alfian benar-benar kacau malam ini. Lebih tepatnya satu minggu ini. Sejak kepulangannya dari dinas kantor senin lalu. "Ada masalah di kantor cabang?" tanya Restu sembari menuang teh dari teko ke dalam gelas bening dan disodorkan ke dekat Alfian, meski ia tahu cairan keemasan itu tak akan tersentuh sedikit pun. Kemudian Restu menuang kembali ke gelas satunya untuk ia minum sendiri.

"Urusan kantor beres."

"So, kenapa muka lo ditekuk gitu?" Restu mendekatkan gelas teh yang terisi penuh ke arah bibirnya.

"Hanya sedang bingung," jawab Alfian sambil membuka kancing lengan kemeja kanannya lalu menggulung asal sebatas siku.

Selesai meyesap dua teguk teh, Restu meletakkan lagi gelasnya ke atas meja. "Tentang?" Melirik Restu sekilas, Alfian melanjutkan membuka kancing lengan kemeja sebelah kiri. Tak berniat menjawab pertanyaan tersebut.

"Masalah Sinta lagi?" Restu menebak bosan, Alfian tetap tak menjawab. Ugh, Restu paling benci kalau sudah begini. Alfian suka sekali bermain teka-teki dengannya.

"Nggak mungkin lo galau karena Diana, kan, Fi?" Padahal Restu hanya menebak asal, tapi kerutan samar di kening Alfian cukup dijadikan jawaban.

"Lo beneran suka sama dia, yah?"

"Ini nggak ada sangkut pautnya dengan gadis itu." Nada suara Alfian berubah dingin. Hal ini membuat Restu makin curiga.

Tak memedulikan ekspresi Alfian yang berubah garang, Restu tetap melanjutkan. "Kalau suka bilang aja suka. Kalau perlu kejar. Kesempatan itu nggak datang dua kali. Sekali lo melepaskan, lo harus rela kehilangan."

Pancaran mata Alfian yang berubah tajam, tak lantas membuat Restu gentar. Ia sudah sangat terbiasa dengan sikap Alfian yang dinginnya melebihi suhu di kutub utara. Kalaupun benar sahabatnya itu menyimpan rasa pada Diana, Restu setuju-setuju saja. Hanya, Restu tak bisa membayangkan kalau dua mahluk kaku macam Alfian dan Diana menyatu, akan seperti apa hubungan mereka. Sepertinya mengerikan.

"Jangan sok tahu, Restu!"

"Sok tahu?" ulang sarkas Restu. Ada senyum geli di bibirnya yang membuat Alfian makin berang. "Yang gue tahu, seorang Alfian Galileo nggak bakal emosi kalau yang ditebak lawan bicaranya keliru." Alfian membuang napas kasar. Seharusnya ia memang tak datang ke tempat ini. Restu terlalu mudah menebaknya. Tak mau merasa disudutkan lebih lama, ia pun pamit pulang. Semoga drum bisa membuat galaunya hilang.

(Not) a Perfect LifeWhere stories live. Discover now