"Kamu berubah, Al." Sinta mengedip, membiarkan satu cairan bening meluncur di pipi mulusnya. Nyatanya, mendengar Alfian lebih membela wanita lain cukup ampuh untuk membuat hatinya memanas.

"Sinta," Alfian terhenyak. Dari dulu, air mata Sinta adalah hal terakhir yang ingin ia lihat. Apakah ada yang salah dengan kata-katanya. "Aku—"

"Apa yang sebenarnya wanita itu lakukan sama kamu?" Sinta menghapus air matanya dengan kasar. Tak lagi mau mengedipkan mata, sebab tak ingin ada air mata lain yang tumpah dari telaga beningnya. "Dia berusaha merebut Abi dariku. Dan sekarang, dia sudah berhasil merebut perhatian kamu!"

Menunduk, Alfian memilih bungkam. Ia takut, saat ia mengeluarkan suara, air mata Sinta keluar juga.

"Kamu bilang, kamu nggak suka wanita yang sok cari perhatian dan berdandan berlebihan seperti Diana. Tapi, lihat sikap kamu sekarang. Berbanding terbalik dari kata-kata kamu sebelumnya!" Meraih tasnya di atas meja, Sinta mendorong kursi yang didudukinya ke belakang. Ia bangkit. Tampa kata lagi, Sinta melenggang pergi, meninggalkan Alfian seorang diri. Yang untuk mencegah pun Alfian tak berani. Alfian memang laki-laki tangguh, lihai berbisnis dan berkelahi. Tapi, ia tak pernah berdaya di hadapan mahluk Tuhan bernama wanita dan perasaan labil mereka.

Memdesah, Alfian meraih cangkir kopinya dan menghabiskan cairan hitam itu dalam sekali teguk. Hanya minuman ini yang bisa menjadi pelampiasan Alfian saat kepalanya penat. Seberat apa pun masalahnya, ia tak pernah mau lari terhadap rokok apa lagi alkohol. Karena ia masih sangat menyayangi tubuh beserta organ-organ di dalamnya.

🍂🍂🍂

Gila!

Satu kata itu sepertinya sangat cocok untuk ukuran seorang tamu tak diundang yang kini duduk di sofa buluk di ruang tengah rumah kontrakan kecil ini.

Mendesah, sang tuan rumah menoleh ke samping kiri. Ke arah jam bundar yang menggantung di dinding untuk memastikan waktu.

Sial!

Tiga jarum dengan ukuran berbeda pada jam itu tak bergerak. Itu berarti, jam dindingnya sudah minta diganti.

Berusaha menahan jengkel, ia kembali memutar kepala menghadap sang tamu tak kenal waktu.

"So? Ini udah malem. Dan gue mau tidur," gerutunya. Ia berjalan gontai ke arah sofa single yang bersebrangan dengan si tamu, kemudian menjatuhkan diri di sana.

"Gue berantem sama Sinta."

Alih-alih menjawab, Restu malah menguap lebar. Bosan mendengar ocehan Alfian yang melulu tentang sahabat masa kecilnya.

"Dia putus dari Abi."

"Bukannya itu bagus?" Restu menanggapi tanpa minat. Andai tamunya adalah orang lain, dia akan segera hengkang mendapati respon tersirat dari sang tuan rumah. Alih-alih, Alfian justru makin menyamankan diri dengan bersandar pada punggung sofa yang ia duduki. "Tembak aja," tambah Restu.

"Seharusnya," gumam Alfian yang masih bisa Restu dengar, "tapi ...."

Satu alis Restu terangkat. Memunggu dengan sabar kelanjutan dari kalimat Alfian. Dan saat sang lawan bicara tak kunjung membuka suara kembali, Restu berucap, "Emang Sinta putus sama Abi gara-gara apa?"

Mengangkat sedikit wajahnya, Alfian menatap Restu lurus-lurus. Berusaha mencari tahu bagaimana reaksi Restu bila mana mendengar nama yang akan ia sebut sebagai jawaban. "Diana."

"Kok bisa?" Kening Restu berkerut. Kentara sekali bahwa ia mulai tertarik pada topik pembicaraan ini. Dan semua itu tak luput dari pengamatan Alfian.

"Diana ngincer Abi, katanya."

(Not) a Perfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang