Bagian XI

208 5 0
                                    

Mobil sedan hitam berhenti tepat di depan Leona yang baru saja keluar dari Cafe Brown. Seseorang membuka kaca mobil. Ternyata dia Rafael.

"Masuk sekarang."

Leona mengikuti perintah Rafael. Leona duduk di samping Rafael. Leona melihat Rafael yang sekarang beda dengan Rafael yang berada di sekolah. Rafael lebih rapi dengan setelan kemeja jeans.

"Mhhmm. Apa yanh akan kita lakukan hari ini?"
"Aku ingin tahu tempat yang paling indah di kota ini."
"Menurutku semua tempat di sini bagus-bagus."
"Aku mau ke tempat yang tenang."
"Oke. Aku tahu dimana tempat yang cocok."

***** -Sampai di tempat-
Rafael turun dari mobil dan sejauh mata memandang Ribuan bunga tulip sedang mekar. Hembusan angin membawa langkah Rafael mendekati bunga-bunga tulip itu Leona menyusul di belakangnya. Sama seperti Rafael mata Leona juga terhipnktis dengan keindahan taman ini. Meski Leona sudah sering mengunjungi tempat ini. Tapi hari ini Leona merasa dia juga baru pertama kali datang ke taman ini. Leona berdiri membelakangi punggung Rafael. Mereka berdua sama-sama terhipnotis. Tiba-tiba mereka sama-sama membalikkan badannya. Dan membuat kepala Leona pusing karena kepalanya terantuk ke dagu Rafael. Leona langsung memegang kepalanya,begitu juga dengan Rafael yang memegang dagunya. Kemudian mata mereka bersatu beberapa menit dan ujung-ujungnya mereka tertawa.

"Are you okay?"
"Okay. Dagu mu pasti sakit. Karena kepalaku yang keras."
"Haha. Tentu saja. Ehhh. Kamu ternyata sadar kalau kamu keras kepala ya."
"Apa? Maksudku bukan itu."
"Sudah lah aku tahu kamu menyadari selama ini kamu itu keras kepala."

Rafael mengelus rambut Leona. Saat itu jantung Leona seperti jatuh. Leona bingung kalau Simon yang melakukan itu dia pasti sudah marah. Tapi saat Rafael yang melakukannya. Leona hanya bisa diam.

"Heeeii. Cerewet ada apa di atas sana.", Rafael menunjuk ke anak tangga.

Panggilan Rafael membuyarkan Leona.

"Heei cerewet. Heii wanita keras kepala!! Cepat ke mari."
"Apa? Cerewet? Keras kepala?"
"Kan emang kenyataannya. Kamu itu cerewet keras kepala lagi."
"Enggak kok."
"Terserah lah. Ayo main game."
"Game apa?"
"Gamenya gampang. Modal suit aja. Setiap dpt poin satu maka menaiki 1 anak tangga juga. Dan kalau kamu sampai di atas di luan aku janji gk akan manggil kamu cerewet atau keras kepala lagi. Tapi kalau aku yang sampai di luan. AKu akan tetap memanggil mu Cerewet dan keras kepala. Sederhana kan?"
"Mmm."
"Deal?"
"Deal."

Mereka mulai bermain. Rafael diluan menaiki anak tangga yang pertama. Leona sdkt kesal. Kemudian Rafael naik lagi ke anak tangga yg ke 2, lalu ke 3. Sampai Rafael di anak tangga yg ke 5. Leona belum juga naik ke anak tangga yang pertama. Rafael sudah tertawa melihat wajah Leona yang semakin kesal.

"Cerewet. Ayo cepat naik. Aku hampir setengah jalan ini."
"Iya lah kamu menang. Kamu mainnya curang."
"Kamu aja yang enggak bisa main."
"Udah ah. Aku gk mau main lagi."
"Jd aku bisa panggil kamu cerewet atau keras kepala kan?"
"Enak aja. Kalau kamu mau kita lanjtn permainan. Kamu harus turun satu tangga. Giman?"
"Oke."

Leona tersenyum dan mereka melanjutkan permainan lagi. Akhirnya Leona berhasil berdiri di tangga ke empat,bersama dengan Rafael.

"Lanjut lagi?"
"Tentu saja. Aku kan sudah smpi sini."
"Yakin?"
"Yakin lah."

Sampai akhirnya Rafael tetap memenangkan gamesnya. Leona berdiri dengan wajah sedih.

"Hei Batu Cerewet. Cepat kemari. Di atas ini jauh lbh cntk."

Leona hampir saja meninggalkan tangga itu. Dengan cepat Rafael menarik lengannya dan membawa dia sampai ke atas.

"Kamu tahu dari mana tempat sebagus ini?"
"Ibu ku. Sebelum dia meninggal ini adalah tempat terakhir yang kami datangi."
"Ibu?"
"Iya. Dia satu-satunya yang ku miliki di dunia."
"Jadi sekarang kamu tinggal sendiri?"
"Iya."
"Leona. Menurut mu apa arti kehidupan?"
"Kehidupan? Menurutku itu hal menyenangkan. Tapi kematian itu jauh lebih menyenangkan."
"Kau sudah gila? Mana ada yang namanya kematian itu menyenangkan."
"Aku juga berpikir seperti itu dulu. Aku berpikir setelah ibu meninggal aku tidak akan mampu hidup sendiri. Lalu aku ingat perkataan ibu.
"Leona kamu tidak perlu sedih, ibu akan pergi menuju ke kehidupan yang lebih abadi. Kamu harus tahu selalu ada alasan kenapa hari ini akan menjadi hari kematian ibu. Tuhan akan membuat mu menjadi perempuan yang lebih kuat dan tidak selalu menyandarkan diri di pelukan orang lain,sampai suatu saat pelukan seseorang akan mencari mu untuk menyandarkan diri. Satu-satunya cara adalah dengan mengambil nyawa ibu."
"Lalu?"
"Lalu aku mulai berpikir selalu ada alasan terbaik kenapa tuhan mengambil nyawa seseorang. Karena itu lah kematian tidak selamanya suatu yang menyedihkan."

Mereka duduk di bawah pohon. Tanpa sadar kepala Leona sudah berada di bahu kanan Rafael.

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now