"Padahal gue udah tau lo bakal diterima. Tapi tetep aja—" Ranu memulai pembicaraan dengan nada tidak suka.
"Jangan kesel dong..." ujar Airi sambil meletakkan mangkuk bakso miliknya juga. "Harusnya gue yang kesel."
Wajah Ranu bingung. "Kenapa?"
"Gue dikasih tau Bang Fauzan tadi. Ternyata lo udah tau kalau reference check aman. Makanya selalu bilang 'diterima diterima'!" Airi menyenggol lengan Ranu. "Iseng banget jadi orang!"
"Sorry Ay..." Seringai Ranu muncul kembali ketika melihat Airi bersungut-sungut. "Lo udah bilang Bang Fauzan?"
"Udah," jawab Airi sambil mengambil kembali mangkuk kemudian menggigit bakso terakhir. "Katanya siapin aja semuanya," lanjutnya sambil melihat ke samping.
Ranu meluruskan kaki dengan sedotan diantara bibir. Matanya masih fokus ke melihat pemain bisbol di depan. Semua terlihat bersemangat, berbeda dengan dua orang yang duduk bersebelahan dengan wajah muram.
"Berarti pakai rencana lo, ya?" Ranu memalingkan wajah ke Airi yang memperhatikan dirinya duluan.
Kepala Airi mengangguk pelan. "Mau nggak mau..." katanya sambil meletakkan styrofoam yang tersisa kuahnya saja.
"Oke." Ranu meletakkan gelas kopi di antara kakinya dan Airi. Kepalanya ikut menunduk juga. Karena yang ditakutkan terjadi. Berjauhan entah sampai kapan.
"Sumpah ya. Pas dapet email tadi, yang gue rasain nggak sepenuhnya seneng, tau nggak?" Airi menarik napas panjang sekali dan dihembuskan dengan keras.
"Langsung kayak disadarkan, kalau gue bener-bener harus pergi. Terus harus sendirian ngulang dari awal lagi." Suara Airi seperti tercekat dan sulit keluar.
Ranu menegakkan badan. Tangannya menyingkirkan apa pun yang ada di antara dia dan Airi. Kakinya menyila, badannya menghadap Airi yang sedang meluruskan kaki dengan tangan menopang ke belakang.
"Ay, nggak sendirian." Ranu menyentuh belakang punggung teman perempuannya. "Bukannya lo lebih sendirian pas pindah ke Jakarta?"
Bibir Airi mengerucut ke depan, dan malah membuat Ranu yang senang melihatnya. "Ya makanya. Karena waktu itu dari awal memang sendirian." Kepalanya menoleh ke lawan bicara. "Masalahnya sekarang kan enggak."
"Gue samperin Airi! Udah gue bilang, kan?"
Perempuannya ini sepertinya takut sekali ditinggal sendiri.
Airi mendengus kencang sekali. Seolah semuanya terjadi bertubi-tubi dan tidak berjeda. Masalah yang datang seakan harus diselesaikan sekarang juga.
"Ay..."
Wajah Airi mengeras. Pandangannya beralih ke lapangan yang terang sekali.
"Gue tuh sampe—" Airi menoleh ke Ranu dulu. "Tapi jangan marah—Ini cuma pikiran bodoh sekilas aja."
Dahi Ranu membentuk garis halus karena bingung, tapi kemudian melunak. "Nggak nggak. Kenapa?"
Napas Airi dihembuskan perlahan. "Tadi gue sampe mikir, apa gue nggak jadi aja—"
"AIRI!"
"Katanya nggak marah?" Airi meninggikan suara juga. "Gimana sih?"
"Kenapa tiba-tiba mikir gitu?" Ranu memandang galak ke teman perempuannya yang memicingkan mata.
"Merasa bersalah, Ca..." Airi mencabuti rumput di samping badan. Pandangannya ke pemain bisbol yang sedang melakukan latihan pukulan bergantian.
Mata Airi melirik Ranu sekilas yang masih menatap tajam ke arahnya. "Kayak—kita belum ada apa-apa tapi udah nuntut macem-macem. Jadi mikir, apa gue yang egois, ya?"
YOU ARE READING
Touchpoints
ChickLitEnemy turns into friend? Or maybe a lover? Siapa yang bisa menebak? Hari-hari Airi, F30, sebagai PM (Project Manager) salah satu aplikasi yang sedang dikembangkan oleh perusahaan plat merah sudah cukup meriah. Dengan deadline, source code, bug error...
Part 41 - Commit Point
Start from the beginning
